Total Tayangan Halaman

Senin, 24 Desember 2012

SALMAN AL FARISI

net
SALMAN AL FARISI

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.

”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.

”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”

***

Tak mudah menjadi lelaki sejantan Salman. Tak mudah menjadi sahabat setulus Abud Darda’. Dan tak mudah menjadi wanita sejujur shahabiyah yang kelak kita kenal sebagai Ummud Darda’. Belajar menjadi mereka adalah proses belajar untuk menjadi orang yang benar dalam menata dan mengelola hati. Lalu merekapun bercahaya dalam pentas sejarah. Bagaimanakah kiranya?

Ijinkan saya mengenang seorang ulama yang berhasil mengintisarikan Ihya’ ‘Ulumiddin karya Imam Al Ghazali. Ustadz Sa’id Hawa namanya. Dalam buku Tazkiyatun Nafs, beliau menggambarkan pada kita proses untuk menjadi orang yang shadiq, orang yang benar. Prosesnya ada empat, ialah sebagai berikut,

Shidqun Niyah

Artinya benar dalam niat. Benar dalam semburat pertama hasrat hati. Benar dalam mengikhlaskan diri. Benar dalam menepis syak dan riya’. Benar dalam menghapus sum’ah dan ‘ujub. Benar dalam menatap lurus ke depan tanpa mempedulikan pujian kanan dan celaan kiri. Benar dalam kejujuran pada Allah. Benar dalam persangkaan pada Allah. Benar dalam meneguhkan hati.

Shidqul ‘Azm

Artinya benar dalam tekad. Benar dalam keberanian-keberanian. Benar dalam janji-janji pada Allah dan dirinya. Benar dalam memancang target-target diri. Benar dalam pekik semangat. Benar dalam menemukan motivasi setiap kali. Benar dalam mengaktivasi potensi diri. Benar dalam memikirkan langkah-langkah pasti. Benar dalam memantapkan jiwa.

Shidqul Iltizam

Artinya benar dalam komitmen. Benar dalam menetapi rencana-rencana. Benar dalam melanggengkan semangat dan tekad. Benar dalam memegang teguh nilai-nilai. Benar dalam memaksa diri. Benar dalam bersabar atas ujian dan gangguan. Benar dalam menghadapi tantangan dan ancaman. Benar dalam mengistiqamahkan dzikir, fikir, dan ikhtiyar.

Shidqul ‘Amaal

Artinya benar dalam proses kerja. Benar dalam melakukan segalanya tanpa menabrak pagar-pagar Ilahi. Benar dalam cara. Benar dalam metode. Benar dalam langkah-langkah yang ditempuh. Benar dalam profesionalisme dan ihsannya amal. Benar dalam tiap gerak anggota badan.

Nah, mari coba kita refleksikan proses menjadi orang benar ini dalam proses menuju pernikahan. Seperti Salman. Ia kuat memelihara aturan-aturan syar’i. Dan mengharukan caranya mengelola hasrat hati. Insyaallah dengan demikian keberkahan itu semakin mendekat. Jikalau Ash Shidq berarti kebenaran dan bermakna kejujuran, maka yang pertama akan tampak sebagai gejala keberkahan adalah di saat kita jujur dan benar dalam bersikap pada Allah dan manusia.

***

Apa kiat sederhana untuk menjaga hati menyambut sang kawan sejati? Dari pengalaman, ini jawabnya: memfokuskan diri pada persiapan. Mereka yang berbakat gagal dalam pernikahan biasanya adalah mereka yang berfokus pada “Who”. Dengan siapa. Mereka yang insyaallah bisa melalui kehidupan pernikahan yang penuh tantangan adalah mereka yang berfokus pada “Why” dan “How”. Mengapa dia menikah, dan bagaimana dia meraihnya dalam kerangka ridha Allah.

Maka jika kau ingin tahu, inilah persiapan-persiapan itu:

Persiapan Ruhiyah (Spiritual)

Ini meliputi kesiapan kita untuk mengubah sikap mental menjadi lebih bertanggung jawab, sedia berbagi, meluntur ego, dan berlapang dada. Ada penekanan juga untuk siap menggunakan dua hal dalam hidup yang nyata, yakni sabar dan syukur. Ada kesiapan untuk tunduk dan menerima segala ketentuan Allah yang mengatur hidup kita seutuhnya, lebih-lebih dalam rumahtangga.

Persiapan ‘Ilmiyah-Fikriyah (Ilmu-Intelektual)

Bersiaplah menata rumahtangga dengan pengetahuan, ilmu, dan pemahaman. Ada ilmu tentang Ad Diin. Ada ilmu tentang berkomunikasi yang ma’ruf kepada pasangan. Ada ilmu untuk menjadi orangtua yang baik (parenting). Ada ilmu tentang penataan ekonomi. Dan banyak ilmu yang lain.

Persiapan Jasadiyah (Fisik)

Jika memiliki penyakit-penyakit, apalagi berkait dengan kesehatan reproduksi, harus segera diikhtiyarkan penyembuhannya. Keputihan pada akhwat misalnya. Atau gondongan (parotitis) bagi ikhwan. Karena virus yang menyerang kelenjar parotid ini, jika tak segera diblok, bisa menyerang testis. Panu juga harus disembuhkan, he he. Perhatikan kebersihan. Yang lain, perhatikan makanan. Pokoknya harus halal, thayyib, dan teratur. Hapus kebiasaan jajan sembarangan. Tentang pakaian juga, apalagi pada bagian yang paling pribadi. Kebiasaan memakai dalaman yang terlalu ketat misalnya, berefek sangat buruk bagi kualitas sperma. Nah.

Persiapan Maaliyah (Material)

Konsep awal; tugas suami adalah menafkahi, BUKAN mencari nafkah. Nah, bekerja itu keutamaan & penegasan kepemimpinan suami. Persiapan finansial #Nikah sama sekali TIDAK bicara tentang berapa banyak uang, rumah, & kendaraan yang harus kita punya. Persiapan finansial bicara tentang kapabilitas menghasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu, & kemampuan mengelola sejumlah apapun ia.

Maka memulai pernikahan, BUKAN soal apa kita sudah punya tabungan, rumah, & kendaraan. Ia soal kompetensi dan kehendak baik menafkahi. Adalah ‘Ali ibn Abi Thalib memulai pernikahannya bukan dari nol, melainkan minus: rumah, perabot, dan lain-lain dari sumbangan kawan dihitung hutang oleh Nabi. Tetapi ‘Ali menunjukkan diri sebagai calon suami kompeten; dia mandiri, siap bekerja jadi kuli air dengan upah segenggam kurma.

Maka sesudah kompetensi dan kehendak menafkahi yang wujud dalam aksi bekerja -apapun ia-, iman menuntun: pernikahan itu jalan Allah membuka kekayaan (QS 24: 32). Buatlah proyeksi nafkah rumahtangga secara ilmiah dan executable. JANGAN masukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan kejutanNya.

Kemapanan itu tidak abadi. Saat belum mapan masing-masing pasangan bisa belajar untuk menghadapi lapang maupun sempitnya kehidupan. Bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut penelitian Linda J. Waite, signifikan memperkuat ikatan cinta. Ketidakmapanan yang dinamis menurut penelitian Karolinska Institute Swedia, menguatkan jantung dan meningkatkan angka harapan hidup.

Persiapan Ijtima’iyyah (Sosial)

Artinya, siap untuk bermasyarakat, faham bagaimana bertetangga, mengerti bagaimana bersosialisasi dan mengambil peran di tengah masyarakat. Juga tak kalah penting, memiliki visi dan misi da’wah di lingkungannya.

Nah, ini semua adalah persiapan. Artinya sesuatu yang kita kerjakan dalam proses yang tak berhenti. Seberapa banyak dari persiapan di atas yang harus dicapai sebelum menikah? Ukurannya menjadi sangat relatif. Karena, bahkan proses persiapan hakikatnya adalah juga proses perbaikan diri yang kita lakukan sepanjang waktu. Setelah menikah pun, kita tetap harus terus mengasah apa-apa yang kita sebut sebagai persiapan menikah itu.

Lalu, kapan kita menikah?

Ya. Memang harus ada parameter yang jelas. Apa? Rasulullah ternyata hanya menyebut satu parameter di dalam hadits berikut ini. Satu saja. Coba perhatikan.

“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian telah bermampu BA’AH, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan farj. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sungguh puasa itu benteng baginya.” (HR Al Bukhari dan Muslim)

Hanya ada satu parameter saja. Apa itu? Ya, ba’ah. Apa itu ba’ah? Sebagian ‘ulama berbeda pendapat tetapi menyepakati satu hal. Makna ba’ah yang utama adalah kemampuan biologis, kemampuan berjima’. Adapun makna tambahannya, menurut Imam Asy Syaukani adalah al mahru wan nafaqah, mahar dan nafkah. Sedang menurut ‘ulama lain adalah penyediaan tempat tinggal. Tetapi, makna utamalah yang ditekankan yakni kemampuan jima’.

Maka, kita dapati generasi awal ummat ini menikahkan putra-putri mereka di usia muda. Bahkan sejak mengalami ihtilam (mimpi basah) pertama kali. Sehingga, kata Ustadz Darlis Fajar, di masa Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, tidak ada kenakalan remaja. Lihatlah sekarang, kata beliau, ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh menyejarah menikah di usia belasan. Yusuf Al Qaradlawi menikah di usia belasan, ‘Ali Ath Thanthawi juga begitu. Beliau lalu mengutip hasil sebuah riset baru di Timur Tengah, bahwa penyebab banyaknya kerusakan moral di tengah masyarakat adalah banyaknya bujangan dan lajang di tengah masyarakat itu.

Nah. Selesai sudah. Seberapa pun persiapan, sesedikit apapun bekal, anda sudah dituntut menikah kalau sudah ba’ah. Maka persiapan utama adalah komitmen. Komitmen untuk menjadikan pernikahan sebagai perbaikan diri terus menerus. Saya ingin menegaskan, sesudah kebenaran dan kejujuran, gejala awal dari barakah adalah mempermudah proses dan tidak mempersulit diri, apalagi mempersulit orang lain. Sudah berani melangkah sekarang? Apakah anda masih perlu sebuah jaminan lagi? Baik, Allah akan memberikannya, Allah akan menggaransinya:

“Ada tiga golongan yang wajib bagi Allah menolong mereka. Pertama, budak mukatab yang ingin melunasi dirinya agar bisa merdeka. Dua, orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya dari ma’shiat. Dan ketiga, para mujahid di jalan Allah.” (HR At Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Pernah di sebuha milis, saya juga menyentil sebuah logika kecil yang pernah disampaikan seorang kawan lalu saya modifikasi sedikit. Apa itu? Tentang bahwa menikah itu membuka pintu rezeki. Jadi logikanya begini. Jatah rezeki kita itu sudah ada, sudah pasti sekian-sekian. Kita diberi pilihan-pilihan oleh Allah untuk mengambilnya dari jalan manapun. Tetapi, ia bisa terhalang oleh beberapa hal semisal malas, gengsi, dan ma’shiat.

Kata ‘Umar ibn Al Khaththab, pemuda yang tidak berkeinginan segera menikah itu kemungkinannya dua. Kalau tidak banyak ma’shiatnya, pasti diragukan kejantanannya. Nah, kebanyakan insyaallah jantan. Cuma ada ma’shiat. Ini saja sudah menghalangi rezeki. Belum lagi gengsi dan pilih-pilih pekerjaan yang kita alami sebelum menikah. Malu, gengsi, pilih-pilih.

Tapi begitu menikah, anda mendapat tuntutan tanggungjawab untuk menafkahi. Bagi yang berakal sehat, tanggungjawab ini akan menghapus gengsi dan pilih-pilih itu. Ada kenekatan yang bertanggungjwab ditambah berkurangnya ma’shiat karena di sisi sudah ada isteri yang Allah halalkan. Apalagi, kalau memperbanyak istighfar. Rezeki akan datang bertubi-tubi. Seperti kata Nabi Nuh ini,

“Maka aku katakan kepada mereka: “Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh 10-12)

Pernah membayangkan punya perkebunan yang dialiri sungai-sungai pribadi? Banyaklah beristighfar, dan segeralah menikah, insyaallah barakah. Nah, saya sudah menyampaikan. Sekali lagi, gejala awal dari barakahnya sebuah pernikahan adalah kejujuran ruh, terjaganya proses dalam bingkai syaria’t, dan memudahkan diri. Ingat kata kuncinya; jujur, syar’i, mudah. Saya sudah menyampaikan, Allaahummasyhad! Ya Allah saksikanlah! Jika masih ada ragu menyisa, pertanyaan Nabi Nuh di ayat selanjutnya amat relevan ditelunjukkan ke arah wajah kita.

“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” (Nuh 13)

Begitulah. Selamat menyambut kawan sejati, sepenuh cinta
ALMAN AL FARISI

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.

”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.

”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”

***

Tak mudah menjadi lelaki sejantan Salman. Tak mudah menjadi sahabat setulus Abud Darda’. Dan tak mudah menjadi wanita sejujur shahabiyah yang kelak kita kenal sebagai Ummud Darda’. Belajar menjadi mereka adalah proses belajar untuk menjadi orang yang benar dalam menata dan mengelola hati. Lalu merekapun bercahaya dalam pentas sejarah. Bagaimanakah kiranya?

Ijinkan saya mengenang seorang ulama yang berhasil mengintisarikan Ihya’ ‘Ulumiddin karya Imam Al Ghazali. Ustadz Sa’id Hawa namanya. Dalam buku Tazkiyatun Nafs, beliau menggambarkan pada kita proses untuk menjadi orang yang shadiq, orang yang benar. Prosesnya ada empat, ialah sebagai berikut,

Shidqun Niyah

Artinya benar dalam niat. Benar dalam semburat pertama hasrat hati. Benar dalam mengikhlaskan diri. Benar dalam menepis syak dan riya’. Benar dalam menghapus sum’ah dan ‘ujub. Benar dalam menatap lurus ke depan tanpa mempedulikan pujian kanan dan celaan kiri. Benar dalam kejujuran pada Allah. Benar dalam persangkaan pada Allah. Benar dalam meneguhkan hati.

Shidqul ‘Azm

Artinya benar dalam tekad. Benar dalam keberanian-keberanian. Benar dalam janji-janji pada Allah dan dirinya. Benar dalam memancang target-target diri. Benar dalam pekik semangat. Benar dalam menemukan motivasi setiap kali. Benar dalam mengaktivasi potensi diri. Benar dalam memikirkan langkah-langkah pasti. Benar dalam memantapkan jiwa.

Shidqul Iltizam

Artinya benar dalam komitmen. Benar dalam menetapi rencana-rencana. Benar dalam melanggengkan semangat dan tekad. Benar dalam memegang teguh nilai-nilai. Benar dalam memaksa diri. Benar dalam bersabar atas ujian dan gangguan. Benar dalam menghadapi tantangan dan ancaman. Benar dalam mengistiqamahkan dzikir, fikir, dan ikhtiyar.

Shidqul ‘Amaal

Artinya benar dalam proses kerja. Benar dalam melakukan segalanya tanpa menabrak pagar-pagar Ilahi. Benar dalam cara. Benar dalam metode. Benar dalam langkah-langkah yang ditempuh. Benar dalam profesionalisme dan ihsannya amal. Benar dalam tiap gerak anggota badan.

Nah, mari coba kita refleksikan proses menjadi orang benar ini dalam proses menuju pernikahan. Seperti Salman. Ia kuat memelihara aturan-aturan syar’i. Dan mengharukan caranya mengelola hasrat hati. Insyaallah dengan demikian keberkahan itu semakin mendekat. Jikalau Ash Shidq berarti kebenaran dan bermakna kejujuran, maka yang pertama akan tampak sebagai gejala keberkahan adalah di saat kita jujur dan benar dalam bersikap pada Allah dan manusia.

***

Apa kiat sederhana untuk menjaga hati menyambut sang kawan sejati? Dari pengalaman, ini jawabnya: memfokuskan diri pada persiapan. Mereka yang berbakat gagal dalam pernikahan biasanya adalah mereka yang berfokus pada “Who”. Dengan siapa. Mereka yang insyaallah bisa melalui kehidupan pernikahan yang penuh tantangan adalah mereka yang berfokus pada “Why” dan “How”. Mengapa dia menikah, dan bagaimana dia meraihnya dalam kerangka ridha Allah.

Maka jika kau ingin tahu, inilah persiapan-persiapan itu:

Persiapan Ruhiyah (Spiritual)

Ini meliputi kesiapan kita untuk mengubah sikap mental menjadi lebih bertanggung jawab, sedia berbagi, meluntur ego, dan berlapang dada. Ada penekanan juga untuk siap menggunakan dua hal dalam hidup yang nyata, yakni sabar dan syukur. Ada kesiapan untuk tunduk dan menerima segala ketentuan Allah yang mengatur hidup kita seutuhnya, lebih-lebih dalam rumahtangga.

Persiapan ‘Ilmiyah-Fikriyah (Ilmu-Intelektual)

Bersiaplah menata rumahtangga dengan pengetahuan, ilmu, dan pemahaman. Ada ilmu tentang Ad Diin. Ada ilmu tentang berkomunikasi yang ma’ruf kepada pasangan. Ada ilmu untuk menjadi orangtua yang baik (parenting). Ada ilmu tentang penataan ekonomi. Dan banyak ilmu yang lain.

Persiapan Jasadiyah (Fisik)

Jika memiliki penyakit-penyakit, apalagi berkait dengan kesehatan reproduksi, harus segera diikhtiyarkan penyembuhannya. Keputihan pada akhwat misalnya. Atau gondongan (parotitis) bagi ikhwan. Karena virus yang menyerang kelenjar parotid ini, jika tak segera diblok, bisa menyerang testis. Panu juga harus disembuhkan, he he. Perhatikan kebersihan. Yang lain, perhatikan makanan. Pokoknya harus halal, thayyib, dan teratur. Hapus kebiasaan jajan sembarangan. Tentang pakaian juga, apalagi pada bagian yang paling pribadi. Kebiasaan memakai dalaman yang terlalu ketat misalnya, berefek sangat buruk bagi kualitas sperma. Nah.

Persiapan Maaliyah (Material)

Konsep awal; tugas suami adalah menafkahi, BUKAN mencari nafkah. Nah, bekerja itu keutamaan & penegasan kepemimpinan suami. Persiapan finansial #Nikah sama sekali TIDAK bicara tentang berapa banyak uang, rumah, & kendaraan yang harus kita punya. Persiapan finansial bicara tentang kapabilitas menghasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu, & kemampuan mengelola sejumlah apapun ia.

Maka memulai pernikahan, BUKAN soal apa kita sudah punya tabungan, rumah, & kendaraan. Ia soal kompetensi dan kehendak baik menafkahi. Adalah ‘Ali ibn Abi Thalib memulai pernikahannya bukan dari nol, melainkan minus: rumah, perabot, dan lain-lain dari sumbangan kawan dihitung hutang oleh Nabi. Tetapi ‘Ali menunjukkan diri sebagai calon suami kompeten; dia mandiri, siap bekerja jadi kuli air dengan upah segenggam kurma.

Maka sesudah kompetensi dan kehendak menafkahi yang wujud dalam aksi bekerja -apapun ia-, iman menuntun: pernikahan itu jalan Allah membuka kekayaan (QS 24: 32). Buatlah proyeksi nafkah rumahtangga secara ilmiah dan executable. JANGAN masukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan kejutanNya.

Kemapanan itu tidak abadi. Saat belum mapan masing-masing pasangan bisa belajar untuk menghadapi lapang maupun sempitnya kehidupan. Bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut penelitian Linda J. Waite, signifikan memperkuat ikatan cinta. Ketidakmapanan yang dinamis menurut penelitian Karolinska Institute Swedia, menguatkan jantung dan meningkatkan angka harapan hidup.

Persiapan Ijtima’iyyah (Sosial)

Artinya, siap untuk bermasyarakat, faham bagaimana bertetangga, mengerti bagaimana bersosialisasi dan mengambil peran di tengah masyarakat. Juga tak kalah penting, memiliki visi dan misi da’wah di lingkungannya.

Nah, ini semua adalah persiapan. Artinya sesuatu yang kita kerjakan dalam proses yang tak berhenti. Seberapa banyak dari persiapan di atas yang harus dicapai sebelum menikah? Ukurannya menjadi sangat relatif. Karena, bahkan proses persiapan hakikatnya adalah juga proses perbaikan diri yang kita lakukan sepanjang waktu. Setelah menikah pun, kita tetap harus terus mengasah apa-apa yang kita sebut sebagai persiapan menikah itu.

Lalu, kapan kita menikah?

Ya. Memang harus ada parameter yang jelas. Apa? Rasulullah ternyata hanya menyebut satu parameter di dalam hadits berikut ini. Satu saja. Coba perhatikan.

“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian telah bermampu BA’AH, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan farj. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sungguh puasa itu benteng baginya.” (HR Al Bukhari dan Muslim)

Hanya ada satu parameter saja. Apa itu? Ya, ba’ah. Apa itu ba’ah? Sebagian ‘ulama berbeda pendapat tetapi menyepakati satu hal. Makna ba’ah yang utama adalah kemampuan biologis, kemampuan berjima’. Adapun makna tambahannya, menurut Imam Asy Syaukani adalah al mahru wan nafaqah, mahar dan nafkah. Sedang menurut ‘ulama lain adalah penyediaan tempat tinggal. Tetapi, makna utamalah yang ditekankan yakni kemampuan jima’.

Maka, kita dapati generasi awal ummat ini menikahkan putra-putri mereka di usia muda. Bahkan sejak mengalami ihtilam (mimpi basah) pertama kali. Sehingga, kata Ustadz Darlis Fajar, di masa Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, tidak ada kenakalan remaja. Lihatlah sekarang, kata beliau, ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh menyejarah menikah di usia belasan. Yusuf Al Qaradlawi menikah di usia belasan, ‘Ali Ath Thanthawi juga begitu. Beliau lalu mengutip hasil sebuah riset baru di Timur Tengah, bahwa penyebab banyaknya kerusakan moral di tengah masyarakat adalah banyaknya bujangan dan lajang di tengah masyarakat itu.

Nah. Selesai sudah. Seberapa pun persiapan, sesedikit apapun bekal, anda sudah dituntut menikah kalau sudah ba’ah. Maka persiapan utama adalah komitmen. Komitmen untuk menjadikan pernikahan sebagai perbaikan diri terus menerus. Saya ingin menegaskan, sesudah kebenaran dan kejujuran, gejala awal dari barakah adalah mempermudah proses dan tidak mempersulit diri, apalagi mempersulit orang lain. Sudah berani melangkah sekarang? Apakah anda masih perlu sebuah jaminan lagi? Baik, Allah akan memberikannya, Allah akan menggaransinya:

“Ada tiga golongan yang wajib bagi Allah menolong mereka. Pertama, budak mukatab yang ingin melunasi dirinya agar bisa merdeka. Dua, orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya dari ma’shiat. Dan ketiga, para mujahid di jalan Allah.” (HR At Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Pernah di sebuha milis, saya juga menyentil sebuah logika kecil yang pernah disampaikan seorang kawan lalu saya modifikasi sedikit. Apa itu? Tentang bahwa menikah itu membuka pintu rezeki. Jadi logikanya begini. Jatah rezeki kita itu sudah ada, sudah pasti sekian-sekian. Kita diberi pilihan-pilihan oleh Allah untuk mengambilnya dari jalan manapun. Tetapi, ia bisa terhalang oleh beberapa hal semisal malas, gengsi, dan ma’shiat.

Kata ‘Umar ibn Al Khaththab, pemuda yang tidak berkeinginan segera menikah itu kemungkinannya dua. Kalau tidak banyak ma’shiatnya, pasti diragukan kejantanannya. Nah, kebanyakan insyaallah jantan. Cuma ada ma’shiat. Ini saja sudah menghalangi rezeki. Belum lagi gengsi dan pilih-pilih pekerjaan yang kita alami sebelum menikah. Malu, gengsi, pilih-pilih.

Tapi begitu menikah, anda mendapat tuntutan tanggungjawab untuk menafkahi. Bagi yang berakal sehat, tanggungjawab ini akan menghapus gengsi dan pilih-pilih itu. Ada kenekatan yang bertanggungjwab ditambah berkurangnya ma’shiat karena di sisi sudah ada isteri yang Allah halalkan. Apalagi, kalau memperbanyak istighfar. Rezeki akan datang bertubi-tubi. Seperti kata Nabi Nuh ini,

“Maka aku katakan kepada mereka: “Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh 10-12)

Pernah membayangkan punya perkebunan yang dialiri sungai-sungai pribadi? Banyaklah beristighfar, dan segeralah menikah, insyaallah barakah. Nah, saya sudah menyampaikan. Sekali lagi, gejala awal dari barakahnya sebuah pernikahan adalah kejujuran ruh, terjaganya proses dalam bingkai syaria’t, dan memudahkan diri. Ingat kata kuncinya; jujur, syar’i, mudah. Saya sudah menyampaikan, Allaahummasyhad! Ya Allah saksikanlah! Jika masih ada ragu menyisa, pertanyaan Nabi Nuh di ayat selanjutnya amat relevan ditelunjukkan ke arah wajah kita.

“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” (Nuh 13)

Begitulah. Selamat menyambut kawan sejati, sepenuh cinta


Aku bukan Oky Setiana Dewi


Untuk Sang Penjaga hati
Ketika  nanti di hari yang hanya Allah yang tahu kapan dan dengan siapa,
Maka percaya lah aku bukan makhluk sempurna yang sekiranya kau cari kesempurnaan itu maka kau akan segera kecewa
Aku perempuan yang dilahirkan dari Mama yang selalu mencintai ku dan aku dibesarkan di keluarga yang biasa biasa saja, Papa ku hanya pegawai biasa, ibu ku seorang guru di sekolah biasa juga, tak ada kemewahan di keluarga kami, tak ada perayaan ulang tahun dengan bertumpuk kado. Kami hanya keluarga biasa  aku dan adik adik ku diminta untuk hidup biasa saja.
 Aku bukan Oky Setiana Dewi yang dalam ceritanya penuh dengan kejutan, kehidupan ku pun biasa biasa biasa saja, aku bukan Oky  setiana dewi, aku perempuan yang hidup di Kota Pekanbaru. Aku juga bukan seorang tahfiz quran, belajar tahsin nya pun hanya 2 kali seminggu, satu di pertemuan rutin, satu lagi di Rumah tahfiz PPA, itupun sudah sebulan ini Ustazah tahsin ku libur mengikuti pelatiihan. Maka bisa kau bayangkan kan bacaan quran ku.
Aku juga bukan akhwat akhwat seperti  akhwat akhwat saudara ku itu, mereka selalu kelihatan anggun, mereka juga sudah mapan, ada yang sudah jadi dosen, guru, pegawai , atau ibu rumah tangga yang sukses (maaf memang kadang kadang aku suka membandingkan diri ku dengan mereka), aku juga tidak pandai menjahit, menyulam, merangkai bunga (jadi nanti ketika kita sudah bersama jangan bermimpi ada kain rajutan, bunga  hasil karya ku ya), oh ya ada lagi aku juga tidak pandai masak kue, terakhir ketika bulan puasa lalu aku mencoba bikin dadar gulung, dan maaf hasilnya sangat mengecewakan . tapi jangan takut kalau bikin pergedel jagung Alhamdulillah aku ahlinya, sebulan penuh aku mempelajari cara membuat pergedel  jagung dan kentang, mungkin makanan ini akan aku sajikan untuk mu kelak.  Jadi aku tidak bisa disamakan dengan akhwat akhwat itu, mereka sempurna secara materi, fisik dan psikis(bukan berarti aku gila ya) aku ya kembali lagi ke bab di atas, hanya perempuan biasa, aku tidak hobby menyulam dan menjahit hobby ku mengamati sebuah objek, entah itu keramaian, kegiatan manusia, hilir mudik nya kendaraan, dan mengabadikan mereka dalam picture atau tulisan tulisan ku. Kalau udah megang kamera sih biasanya aku suka lupa diri, lupa daratan bahkan lupa kalau kamera  nya kamera pinjaman. Jadi kalau boleh berharap nih kelak ketika buah hati ku lahir akan aku abadikan perkembangannya untuk kuperlihatkan padanya kelak, agar dia sadar bagaimana Tuhan menciptakannya dari keadaan lemah. Dan bisa jadi kau juga jadi objek ku, objek foto disaat kau melakukan banyak perbuatan perbuatan baik, saat kau tengah berada dalam pusaran kebaikan.
Oh ya aku sering mendengat teman teman akhwat ku di goda laki laki lain di saat mereka telah berkeinginan menikah, aku  sering kasihan pada teman teman ku itu, sepertinya mereka sangat gundah gulana, dan  ujung ujungnya mereka akan curhat ini dan itu pada ku, aku pun sering dengan rasa percaya diri nya memberikan nasehat dan masukan pada mereka, seolah olah aku sangat mengerti akan persoalan itu, biasanya aku ambil referensi dari yang kubaca atau pengalaman kakak kakak ku yang telah menikah , dan kuulang kembali di depan teman ku itu, nah..sekarang kau tahu kan kalo aku ini orang nya sangat sok tahu, masa aku menasehati orang yang tentang pernikahan di saat aku belum menikah..hadeeehhh.  beberapa kali teman ku mengabari aku tentang penolakan mereka terhadap seseorang, nah di point ini aku sering bingung, sebenarnya ada apa sih dengan teman ku itu, kenapa bisa dia menolak laki laki yang datang padanya.. apa yang kurang, atau banyak kekurangan nya tu laki laki , atau jangan jangan ada tipe yang diharapkan namun  tak datang.
 Cessss… nah.. ini nih yang suka bikin galau,,kalau udah bicara tipe atau kriteria… kalau teman ku menolak karena kriteria nya tak memenuhi syarat, lalu bagaimana dengan ku ya.. apa Kriteriaku, apa tipe ku, apa dia harus sesoleh Ali Bin Abi Thalib lah aku kan bukan Fatimah, bagaimana bisa berharap pendamping yang mendekati sempurna  seperti itu. Nah ini yang harus nya aku pahami bahwa ketidak sempurnaan seorang manusia. Tapi konon katanya laki laki yang “intelektualnya” tinggi suka menaruh kriteria seorang Fatimah pada seseorang perempuan? Benar atau tidak aku pun tak tahu. Semoga aku tidak bertemu dengan laki laki yang seperti itu ya,karena kalau sudah seperti itu maka dipastikan aku akan terdepak, seperti beberapa senior ku yang didepak hanya karena kurang putih kulitnya atau kurang mancung hidungnya.
Bagi ku tak butuh kesempurnaan yang tampak, karena menurut kakak kakak ku semua itu menipu, demi Allah itu lah tipuan dunia, kemapanan  yang datang dari hati itu lah kunci kebahagiaan, tak peduli sesederhana apa penampilannya,bagi ku menikah adalah untuk memenuhi separuh dien, maka dia pun kuharap akan sevisi dengan ku, aku telah berjanji (walau sering tak ditepati) bahwa sisa hidup hanya akan kuhadiahkan pada sang Pencipta. Maka cukuplah keimanannya menjadi pelengkap kebahagiaan mahligai itu. Dan aku pun berjanji untuk menjaga sejatinya cinta, mulai dari sebelum sebelum ini, membuang racun masa lalu, dari sesuatu yang tak penting.
Semoga waktu yang dijanjikan itu tak lama lagi, Ikhtiar dan doa sembari mempersiapkan diri, membekali diri dengan ilmu. Menikah bukan segala galanya tapi dengan menikah banyak hal yang bisa dicapai. Maka pernikahan ku pun nanti harus untuk mencapai Ridho Illahi dengan pendamping yang juga mencari ridho nya Allah, agar terlahir generasi yang soleh dan solehah kebanggaan bagi agama dan bangsanya.
Oh ya sekali lagi aku katakana aku bukan Oki Setiana  Dewi jadi tak perlu kau berharap aku akan menjadi seperti nya, karena bagi ku hidup adalah menjadi yang terbaik dari diri sendiri, hidup dengan menyebar manfaat.

Minggu, 23 Desember 2012

Berkarya dan berbuat, jangan berhenti

Sabtu pagi ini bersiap siap untuk mengikuti sebuah acara yang di sms oleh salah seorang akhwat teman ku di satu organisasi, setelah selesai melakukan pekerjaan rumah , dan urusan pribadi aku pun segera menuju ke lokasi,  namun sebelumnya aku ada janji untuk menjemput Resti dulu, kebiasaanku dari dulu jika ada kegiatan – kegiatan seperti ini aku selalu mengajak akhwat akhwat di dekatku, aku ingin mereka dan aku sama sama belajar setiap harinya tidak peduli seperti apa bentuk belajar nya. Aku sadar aku  tidak bisa membekali kehidupan ini dengan teori teori di majelis atau forum bagi ku mengikut sertakan mereka dalam kehidupan yang real jauh lebih bermanfaat. Seperti  banyak nya manfaat yang aku dapatkan disini aku pun juga ingin mereka merasakan hal yang sama.
Walau sudah sedikit telat dari waktu yang di sms oleh temanku kami masih menyempatkan diri untuk sarapan terlebih dahulu tidak mau mengambil resiko dengan serangan maag yang akan menganggu aktifitas seharian ini mengingat masih banyak yang harus aku lakukan. Semangkuk bubur ayam  kami santap dengan lahapnya.  Selesai sarapan kupacu kendaraan lansung ke tempat acara, pagi ini kami dimintai tolong untuk menyebarkan 1000 bunga sempena dengan hari Ibu  oleh Ibu Iin istri dari wakil walikota Pekanbaru. Karena kedatangan kami yang telat rombongan telah bergerak duluan, janjian bertemu di tugu Zapin alih alih kami putar arah kendaraan menuju Jl sudirman setelah sebelumnya kami sempat menyusul rombongan di RS Zainab. Tak beberapa lama kami sampai di Tugu Zapin tepat di samping Mapolda Riau.  Kami  akhirnya bertemu dengan rombongan Ibu ibu dari Yayasan Peduli Keluarga pimpinan Ibu Iin sendiri. Akhirnya demi menghemat waktu mengingat bunga yang akan di bagikan masih cukup banyak maka rombongan pun dibagi beberapa kelompok menyebar ke berbagai pusat keramaian di Kota Pekanbaru.





Pasar bawah pun menjadi tujuan aku dan Resti  untuk menyebarkan bunga, sebagian kelompok ada yang ke pasar pusat, pasar pagi di Jl Arengka.  Setiba di sana setelah memarkirkan kendaraan kami segera melangkahkan kaki menuju lapak penjual sayuran, Ibu ibu yang ditemui kami berikan bunga, dengan tak lupa menyampaikan salam dari Ibu Iin, tidak hanya Ibu ibu bapak bapak penjual Ikan pun ikut meminta bunga alasannya buat dibagikan ke Istrinya dirumah.”buat orang rumah nak..” kata sang bapak, Ibu ibu yang tidak mengerti maksud kami memberi bunga bertanya ini dan itu, kenapa  Buk Iin (sapaan akrab Istri wakil walikota) menyebarkan bunga nak..?, bahkan ada yang request “nak Ibuk minta yang warna merah ya..Ibu suka warna merah”, bahkan ada yang titip salam “nak salam ya buat Ibu cahyadi ..” bahkan engkong-engkong cina yang tengah menjaga toko pun ikut menyerbu kami, si engkong entah apa maksudnya bahkan meminta  dua tangkai.. bahkan seorang Mbak mbak penjual koran malah meminta bunga kami untuk Ibunya yang tengah sakit dirumah sakit. “Mbak minta ya buat Ibu saya yang lagi sakit ya..” kelakar-kelakar penghuni pasar ini menyejukkan hati kami, kebersamaan tanpa embel embel, yap..hanya untuk berbagi kebahagiaan di hari  ini tanggal 22 desember , walau sesungguhnya budi baik seorang Ibu tak akan pernah bisa terbalasakan bukankah kita hanya di minta berbuat baik saja, karena jasa ibu tak akan bisa dibalas walau laut dan isinya ditangkupkan.  
Lega rasanya harus berbagi dengan mereka semua, momen momen seperti ini tentu tak bisa kita rasakan jika kita tidak langsung bertemu dengan mereka, ada kepuasaan yang terpancar dari raut wajah pedagang  di pasar  ini, dari masyarakat yang di katergorikan menengah kebwah, dari orangorang yang sering kita katakan sebagai masayarakat yang kurang pendidikannya, lalu tahu apa kita tentang kesusahan hidup mereka, dari jerit pahit mereka, bahkan untuk menebus obat yang paling murah sekalipun. Kita sering  membuat  kajian kajian teoritis tentang kesusahan hidup mereka, tapi semua sayangnya hanya sampai di wacana saja tanpa eksekusi, ya..bagaimana mau eksekusi, jika mengurusi diri sendiri kita tak selesai. Padahal  sering kita katakan di orasi orasi ilmiah yang seolah olah begitu sangat ilmiah, dengan narasi narasi yang terlihat sangat luar biasa.lalu kapankah kita turun, kenapa terlalu lama kita memberi alasan untuk menyentuh mereka , kita masih berkutat di urusan internal saja, mengurus alas an alas an kemalasan kita. Ah..lalu apa bedanya kita dengan mereka yang juga hanya sampai di konferensi atau debat tak ada penghujungnya itu.
Teringat kembali beberapa bulan yang lalu ketika  mengawal kegiatan SISTER di daerah Tenayan Raya daerah Badak, daerah yang mayoritas penduduk nya membuat batu bata, bertemu dengan ibu ibu majelis taklim yang semua nya hidup dalam kesederhanaan, bahkan Musholla pun sangat terlihat ala kadarnya, tak ada pagar pembatas antara jalan dengan halaman, dalam keadaan penuh dengan keterbatasan mereka tak lupa untuk senantiasa memuliakan tamu, sajian kue sederhana tetap mereka suguhkan kepada kami, acara sore itu berakhir dengan penuh harapan dari Ibu ibu disana, betapa mereka sudah sangat merindukan perubahan.
Ah…kadang aku berfikir, dan aku mulai dengan melihat realita disekelilingku, mahasiswa dengan segala permasalahannya, urusan akademis, perkuliahan, tugas  yang telah menyita kehidupan mereka dengan realita sosial, apakah memang kehidupan kampus sekarang telah menjadi jurang pemisah realita itu? Entah lah.. lalu ada sekelompok lagi yang sibuk berkutat dengan organisasi namun tak pernah selesai dengan urusan urusan yang bahkan sangat sepele, lalu sering aku bertanya apa mereka dilahirkan hanya untuk berwacana saja,mereka yang menamai diri mereka dengan pejabat kampus pun kadang hanya sibuk di urusan menghadiri seminar, simpsoium atau mengahdiri undangan dan di akhir masa kepengurusan sibuk foto bareng, tidak kah amanah sekecil apapun akan dipertanggung jawabkan di hadapanNya kelak. Ya..lagi lagi aku berfikir bahwa masyarakat Indonesia ini adalah tipikal orang yang sangat sabar dalam penantian, bagaimana tidak dia harus sabar melihat pertikaian elit politik yang hidup dalam kemewahan yang selalu membawa nama _atas nama rakyat_ ke mana pun dia pergi, bahkan rakyat harus sabar menahan air liur melihat pemimpin nya menyantap kehidupan mewah, mereka harus selalu bersabar  dengan fasilitas umum yang sangat tidak layak yang diberikan oleh pejabatnya. Namun aneh nya   bapak bapak pejabat itu masih bisa dengan bangganya mengatakan di baliho bahwa mereka adalah sosok yang sangat merakyat, peduli dan penuh integritas dimana mereka mengatakan itu ketika istri dan anaknya tampil mentereng meminjam uang rakyat. Ah.. kasihannya menjadi rakyat Indonesia..
Dan kini berpuluh tahun sejak Soeharto menjajah Indonesia ditambah pasca lengesernya ke Primbon  oknum oknum penikmat uang rakyat masih banyak di negeri ini  namun beberapa muncul  dengan melawan arus politik yang kejam, mereka yang berani mengatakan tidak pada KKN, mereka yang amanah, mereka yang tampil sederhana dan narasi narasi mereka telah terwujud dalam perilaku dan masyarakat pun bangga pada mereka mereka yang jumlah nya sangat sedikit itu. Tentu nya Indonesia butuh sangat banyak sosok sosok amanah itu, tidak cukup 100 tetapi harus ribuan atau bahkan jutaan.
Di hari Ibu ini aku berfikir kembali bahwa setiap perempuan yang lahir di Indonesia ini mempunyai “kewajiban” untuk melahirkan pemimpin pemimpin luar biasa , setiap kita baik laki laki dan perempuan wajib berbuat baik dan menyebarkan kebaikan itu kepada semua orang. Kita tidak bisa duduk diam saja tapi harus berbuat, lakukan kebaikan sekecil apapun untuk mereka masyarakat yang membutuhkan perubahan, meyuapi  tentu bukan perkara bijak tetapi memberikan kail mungkin bisa jadi alternatif  untuk membuat hidup mereka lebih baik. Aku sering terkagum kagum pada sosok Ibu ibu penggerak di sekelilingku yang luar biasa, Ibu ibu yang tak kenal henti memberikan kebaikan, tanpa melalaikan kewajiban sebagai seorang Istri, mereka tak pernah kenal  lelah mengajarkan kebaikan kepada orang lain,di manapun orang orang itu berada. Tak ada keletihan dan keluh kesah pada wajah mereka.mereka yang kusebut dengan perempuan penginspirasi  untuk hidup ku. Ah.. ibu ibu luar biasa.. seperti Mama ku yang juga luar biasa, yang tak pernah melarang ku untuk berkarya dan berbuat untuk orang banyak. Mama dan Ibu ibu itu luar biasa.
Dan  izinkan aku berkata kepada ibu ibu pembuat batu bata, ibu penjual kue, ibu ibu penjual koran, ibu guru, ibu ibu pemetik sayuran , ibu penjual jamu, mohon izinkan aku dan teman teman ku yang sevisi dengan ku  atas nama kalian berjanji untuk tetap berkarya dan berbuat, bersama sama menyonsong perubahan. Izinkan kami  menyentuh kalian, senyum kalian yang jauh dari polesan make up, jauh dari gemerlapnya eye shadow ,lipstik ,atau  blus on mahal menjadi kebahagaian bagi ku.  
Ria Bustanudin
Ketua Salimah kec. Tenayan Raya