Total Tayangan Halaman

Kamis, 19 April 2012

Dina dan Mimpi Sederhananya



Dina dan Mimpi Sederhananya


“Cita-cita ku Cuma satu Kak, aku ingin membahagiakan Apak dan Adi, Aku ingin membelikan Apak ku rumah dan mengajak nya tinggal bersama ku. .” ujarnya kepada ku siang itu di kamar sempit berukuran 3x4 di rumah kontrakan yang disewanya bersama dua orang akhwat lainnya. Mata ku sejak tadi telah berkaca-kaca mendengarkan cerita nya. Tak dapat kubayangkan jika aku mengalami nasib seperti Dina. Kedua orang  tua nya telah berpisah sejak Dina berusia 7 tahun, dia, adik dan ayahnya kembali ke Riau setelah perpisahan tersebut. Dina dibesarkan oleh Apaknya yang sekarang berumur 69 tahun dan seorang adik laki-laki yang baru saja menamatkan sekolah di bangku SMA. Kesulitan ekonomi keluarga tidak menjadikan Dina sebagai orang yang egois. Apaknya hanyalah seorang buruh kasar di kampung, dengan gaji yang tidak banyak Apak hanya bisa mengirimkan uang seadannya bahkan lebih sering kurang. Demi mencukupkan uang kuliahnya Dina menyambi bekerja sebagai guru les dari rumah ke rumah setiap malamnya. Namun apa yang membuat ku selalu iri padanya adalah semangat dan pengabdiannya kepada KAMMI selama ini.  Aku mengenalnya  5 tahun yang lalu, perkenalan itu dimulai ketika kami diutus untuk pergi seminar sosialiasi UU Pemilu  di hotel Sahid kami utusan dari BEM FKIP UIR, saat itu aku tak terlalu mengenalnya, begitu pun kurasa dia.
Diawali dengan perkenalan manis itulah aku semakin akrab dengannya, berada bersama di satu departemen membuat kami semakin dekat. Tentang sebuah semangat aku selalu belajar banyak dari beliau. Aku mengenalnya sebagai kader KAMMI yang sangat bisa dihandalkan. Apapun itu padanya aku bisa berharap, dan aku tahu betul bahwa dia telah menyerahkan hidupnya untuk berjuang di KAMMI. Sering kulihat dia menangis seorang diri, memikirkan Apak dan adiknya di kampung, mengingat bagaimana dia ditinggal oleh Ibunya. Tak terkira kebahagiaannya ketika suatu waktu dia menginap dirumah ku, ketika akan berpamitan pergi, Mama memberikan kami masing-masing selembar uang dua puluh ribu rupiah untuk ongkos di jalan, kulihat kebahagiaan di wajahnya..ah.. bagaimana jika aku yang harus kehilangan ibu ku. Akan kah masih bisa kukecap bahagia, masihkah bisa aku berdiri tegap memikirkan orang lain, membantu orang lain, namun seorang Dina telah berhasil membuktikan kepada ku bahkan kepada dunia bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk memberi kepada orang lain.
Setahun yang lalu teringat oleh ku pasca kemenangan kami di BEM Universitas, empat tahun kurang kami bertungkus lumus menyelesaikan sengketa BEM, mulai dari jaman Bang Effri hingga kemudian BEM kembali kami  “kuasai” kepercayaan tersebut di letakkan kepada salah seorang kader  terbaik yang kami miliki di kampus. Sebut saja namanya Bang Tomi. Selepas kemenangan itu maka saatnya kami menyusun “formasi cantik”. Bang Tomi sering berdiskusi dengan ku tentang penempatan-penempatan kader yang akan membantu nya di BEM, beberapa nama ikhwan dan akhwat menjadi target sasaran. Saat itu melalui forum akhwat beberapa nama aku ajukan kepada Bang Tomi, mulai dari si A hingga Z. tentunya kami tidak sembarangan meletakkan nama, memilih yang terbaik dari yang terbaik, belum lagi pembagian posisi untuk beberapa lembaga lain yang kami pegang. Dina nama yang sebenarnya kuharapkan untuk berada bersama kami di BEM universitas namun hingga detik di penghujung keputusan namanya belum kudapatkan dari para senior akhwat kampus, lobby terus kulakukan saat itu, beberapa kali kuyakini kakak – kakak itu bahwa Dina pasti bisa duduk di sana. Saat itu memang yang kuharapkan adalah Dina masuk menjadi pengurus BEM. Sosok akhwat yang bagi ku paling cocok untuk bertarung di lembaga siyasi kampus. Jarang ada akhwat yang seperti nya, orangnya yang supel, energik, tidak banyak mengeluh, bisa diharapkan dan tahu betul bagaimana menghadapi dinamika jika ditempatkan bersama dengan orang umum.
Teringat kembali olehku di tahun 2009 ketika kami mencari utusan untuk mengikuti pelatihan.  Ketua BEM fakultas ku  membutuhkan dua orang akhwat untuk kesana, dia mengamanahkan ku untuk mencari orangnya, entah mengapa lagi-lagi hati ku terpaut kepadanya, lansung saja ku sms dia saat itu, tak lama setelah itu sms balasan kudapatkan. Dan jawabannya sangat menyenangkan. Yak.. kesediaan nya tanpa tahu pelatihan apakah itu dia lansung menyanggupi. Itulah yang senantiasa membuat ku bangga kepadanya karena kutahu betapa sulitnya menemukan akhwat yang seperti dia di sini.  Kembali ke cerita BEM universitas ku, aku pun kembali berusaha untuk memasukkan nama Dina kedalam jajaran pengurus, entah alasan apa yang membuat kakak – kakak senior itu sedikit berat memasukkan nama Dina, apakah karena ketakutan dengan stigma yang suka menghubung  hubungkan keberadaan seorang kader jika ditempatkan di ammah akan futur  ada –ada saja menurutku.
Waktu ketika itu terus berjalan, tak lama lagi nama-nama pengurus BEM baik akan segera dipublikasikan, namun izin penempatan Dina belum juga keluar. Seminggu sebelum struktur dibentuk oleh Bang Tomi akhirnya dengan kenekatan kami Dina di masukkan dalam kepengurusan, resiko adalah  masalah nanti. Bagi  ku potensi seorang Dina tidak boleh tidak dimanfaatkan. Karena ku tahu kerja Bang Tomi bukanlah kerja mudah, ibarat kapal maka tugas Bang Tomi adalah memperbaiki kapal yang telah rusak total oleh karena itu butuh orang-orang yang bisa membantu nya.  Kenekatan melanggar aturan jamaah terpaksa diambil, melalui diskusi bersama Dina sore itu kukatakan padanya bahwa dia harus masuk di BEM, dia harus membantu, dan ini pasti berat. Lagi-lagi Dina tanpa banyak sanggahan mengatakan kesiapannya. Air matanya  mengalir, kutahu pasti saat itu dia tengah membayangkan Apak dan Adi harta yang paling berharga yang dimilikinya di dunia ini.
Banyak hal yang kulewatkan bersama Dina, di tahun 2010 hingga 2011 kami bersama-sama duduk sebagai badan pengurus harian di KAMMI Komisariat, wajahnya selalu ceria menyambut kami di setiap pagi nya di sekretariat pengabdian yang kami cintai, saat itu pemikirannya bagai mutiara di lautan, lagi – lagi aku selalu merasa Dina adalah sosok yang luar biasa, lahir dari kekurangan dan dibesarkan oleh cobaan demi cobaan  yang membuatnya menjadi seperti sekarang ini.  Kehilangan kasih sayang ibu lalu kemudian terpisahkan hingga saat ini tanpa ingat sekalipun dengan wajah sang Ibu, lalu seorang ayah yang sangat menyayangi nya yang senantiasa  menanti kepulangan Dina, lalu memiliki seorang adik yang sangat merindukan Ibunya, seorang adik yang pernah suatu ketika ditemui nya di pasar  sedang membersihkan kulit bawang demi upah lima ribu perak.
Dan Dina bukanlah seorang aktivis dakwah kecengan, yang hanya karena keterbatasaan lantas meninggalkan jalan perjuangan yang berliku ini, tidak sedikit aktivis yang melakukan hal ini. Namun aku tahu Dina bukan lah akhwat seperti itu, lagi-lagi kuingat ketika Dina yang saat itu diutus oleh KAMMI untuk menjadi panitia persiapan PEMIRA di kampus, tentunya Dina tidak boleh memihak kepada salah satu pasangan dia harus menjaga indepedensinya, pagi itu di bulan Desember 2010  hari terakhir kampanye pasangan calon , semua pendukung Bang Tomi dan Rino yang mayoritas berasal dari anak KAMMI dan LDK kampus yang menjadi pendukung setia telah bersiap-siap untuk melaksanakan kampanye akbar demi memberi dukungan dan mendulang suara, tiba-tiba si Dina muncul dengan atribut anehnya, kacamata besar, dan muka ditutup sapu tangan tak lupa jaket. Aku tahu betul Dina pasti tidak bisa menahan gejolak semangat nya untuk turun bersama kami pagi itu, senyum bangga tersungging di bibir ku, Ah.. Dina betapa aku bangga padamu.
Kini Dina masih setia menemani Bang Tomi di BEM, tanpa melupakan posisinya sebagai seorang koordinator di salah satu departemen di Komsat, setiap hari sembari menyelesaikan Proposal nya Dina masih tetap setia, tak ada waktu berleha-leha baginya, siapa pun yang membutuhkan bantuannya pasti akan dibantunya. Bersama-sama dengan akhwat komsat lainnya Dina membimbing adik-adiknya untuk menjadi akhwat tangguh dan kuat.  Terakhir kulihat dia berpeluh-peluh membantu panitia dalam pelatihan kepemimpinan tingkat daerah, setiap saat mencuci piring yang kotor dan mempersiapkan segala kebutuhan untuk peserta pelatihan, namun tak kuasa pula ketika kulihat dia terkapar di kamarku sore itu di hari kedua pelatihan, dengan wajah penuh minyak dan kusam, Dina masih tetap saja tersenyum dan masih bisa bercanda dengan ngocol gaya khas seorang Dina.
Ah..Dina sosok akhwat militan yang luar biasa, bersama dengannya aku punya banyak harapan, sejak dulu aku paling bisa menghandalkan Dina, menggalang massa dari kampus untuk pergi aksi menjadi perkerjaan yang menyenangkan bagi kami, undangan seminar dari kampus lain pun disanggupinya, menjemput pembicara  dari ujung ke ujung pun tak masalahnya baginya. Walaupun letih sering menghampiri namun Dina tetap melaksanakan kewajiban, setelah seharian beraktivitas malamnya dilanjutkan lagi dengan bekerja. Ah.. Dina andai saja Ikhwah-ikhwah cengeng itu tahu bagaimana semangat nya kamu seharusnya mereka malu.
Mengutip sebuah kalimat di buku “mengapa aku mencintai KAMMI”  yang menuliskan tentang semangat akhwat-akwhat KAMMI maka Dina adalah satu dari ribuan akhwat militan itu, dia adalah bunga haroki yang mana diamnya adalah mati, teringat bagaimana ketika Asma` binti Yazid bin Sakan  ditunjuk sebagai juru bicara mewakili perempuan di masanya menanyakan tentang posisi perempuan di mata Allah maka Rasulullah menjawab bahwa bakti dan patuh  kepada suami  lah yang akan menghantarkanya mendapat pahala setimpal dengan yang didapat oleh laki-laki yang pergi berperang. Asma yang setelah Rasulullah wafat turun ke medan perang bersama para wanita lainnya, dia berada di antara kobaran semangat perang Yarmuk saat itu. Asma mencurahkan segala kemampuan dengan membantu mempersiapkan senjata, memberikan minum bagi para mujahidin dan mengobati yang terluka diantara mereka serta memompa semangat juang kaum muslimin. Maka tidak ada alasan bagi seorang akhwat untuk bermanja-manja kerjakan apa yang bisa dikerjakan, pekerjaan rumah bangsa ini begitu banyak ketika pekerjaan itu membutuhkan banyak orang maka akhwat harus mengambil peran di sini, jika seorang Khadijah mampu menjadi penopang dakwah Rasulullah di masa awal maka akhwat pun harus demikian, jika seorang Cut Nyak Dien tidak sedikit pun gentar menghadapi Belanda masa itu maka saat ini tidak perlu ada yang kita takuti dalam perjuangan ini.
Akhwat KAMMI di tempa menjadi akhwat tangguh yang senantiasa berada di garda terdepan memimpin kaumnya, membela harkat dan martabat wanita. Seorang perempuan tangguh pasti akan melahirkan generasi yang tangguh pula, seorang perempuan yang rapuh akan melahirkan generasi yang rapuh pula.
Dina dan akhwat-akhwat KAMMI lainnya adalah inspirasi bagi yang lainnnya dalam keterbatasan hidup keluarga Dina tetap tampil menjadi aktivis sejati. Mimpinya untuk membangun kebahagiaan bersama Apak dan Adi adalah mimpi yang dibangun diatas mimpinya untuk mendedikasikan hidup untuk jalan dakwah ini. Untuk Negara Indonesia, untuk Bumi pertiwi.
*Apak : Panggilan untuk Ayah
 
My Dedication :
 For All Akhwat di Universitas Islam Riau My Lovely University, I Love You so Much Ukh..
u/ mereka yg pernah  merasakan bahwa berada “sendirian” di BEM FKIP dan UNIV itu sangat menyenangkan
u/ mereka yang pernah dan masih ada Di komisariat Al Adiyat UIR,
menyenangkan ^_^, dan u/ adik – adiku yang sekarang di sana
 juga u/ akhwat Aklamasi ku (Evi , Kak Desi, Mbak Irfa, Uni Rini, Amie, Iis)
untuk semua Kakak dan adik-adik di UKMI Asy Syuhada ( Ngaji yuk..)
 Last..
Hey.. Ukhti I am Love you so Much too..Ya..You in KAMMI Daerah Riau (Meri, Ilam, Lusi, Inung,Anggie, Ezi, Ana, Ises, Evi,  Kak Fizoh, Kak Siti, Mbak Ijum, Lilis, Silvi, Batdal, and all) Memori malam minggu bersama kalian tak akan terlupakan, Jepangmu, Qatarmu, UI mu, malaysia yg kau tuju, jumpa kita di cita-cita agung itu ^_^

Oleh Ria Bustanudin
Staff Kebijakan Publik KAMMI Daerah Riau