Dina
dan Mimpi Sederhananya
“Cita-cita ku Cuma satu
Kak, aku ingin membahagiakan Apak dan
Adi, Aku ingin membelikan Apak ku
rumah dan mengajak nya tinggal bersama ku. .” ujarnya kepada ku siang itu di
kamar sempit berukuran 3x4 di rumah kontrakan yang disewanya bersama dua orang
akhwat lainnya. Mata ku sejak tadi telah berkaca-kaca mendengarkan cerita nya.
Tak dapat kubayangkan jika aku mengalami nasib seperti Dina. Kedua orang tua nya telah berpisah sejak Dina berusia 7
tahun, dia, adik dan ayahnya kembali ke Riau setelah perpisahan tersebut. Dina
dibesarkan oleh Apaknya yang sekarang
berumur 69 tahun dan seorang adik laki-laki yang baru saja menamatkan sekolah
di bangku SMA. Kesulitan ekonomi keluarga tidak menjadikan Dina sebagai orang
yang egois. Apaknya hanyalah seorang
buruh kasar di kampung, dengan gaji yang tidak banyak Apak hanya bisa mengirimkan uang seadannya bahkan lebih sering
kurang. Demi mencukupkan uang kuliahnya Dina menyambi bekerja sebagai guru les
dari rumah ke rumah setiap malamnya. Namun apa yang membuat ku selalu iri
padanya adalah semangat dan pengabdiannya kepada KAMMI selama ini. Aku mengenalnya 5 tahun yang lalu, perkenalan itu dimulai
ketika kami diutus untuk pergi seminar sosialiasi UU Pemilu di hotel Sahid kami utusan dari BEM FKIP UIR,
saat itu aku tak terlalu mengenalnya, begitu pun kurasa dia.
Diawali dengan
perkenalan manis itulah aku semakin akrab dengannya, berada bersama di satu
departemen membuat kami semakin dekat. Tentang sebuah semangat aku selalu
belajar banyak dari beliau. Aku mengenalnya sebagai kader KAMMI yang sangat
bisa dihandalkan. Apapun itu padanya aku bisa berharap, dan aku tahu betul
bahwa dia telah menyerahkan hidupnya untuk berjuang di KAMMI. Sering kulihat
dia menangis seorang diri, memikirkan Apak
dan adiknya di kampung, mengingat bagaimana dia ditinggal oleh Ibunya. Tak
terkira kebahagiaannya ketika suatu waktu dia menginap dirumah ku, ketika akan
berpamitan pergi, Mama memberikan kami masing-masing selembar uang dua puluh ribu
rupiah untuk ongkos di jalan, kulihat kebahagiaan di wajahnya..ah.. bagaimana
jika aku yang harus kehilangan ibu ku. Akan kah masih bisa kukecap bahagia,
masihkah bisa aku berdiri tegap memikirkan orang lain, membantu orang lain,
namun seorang Dina telah berhasil membuktikan kepada ku bahkan kepada dunia
bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk memberi kepada orang lain.
Setahun yang lalu
teringat oleh ku pasca kemenangan kami di BEM Universitas, empat tahun kurang
kami bertungkus lumus menyelesaikan sengketa BEM, mulai dari jaman Bang Effri
hingga kemudian BEM kembali kami
“kuasai” kepercayaan tersebut di letakkan kepada salah seorang
kader terbaik yang kami miliki di
kampus. Sebut saja namanya Bang Tomi. Selepas kemenangan itu maka saatnya kami
menyusun “formasi cantik”. Bang Tomi sering berdiskusi dengan ku tentang
penempatan-penempatan kader yang akan membantu nya di BEM, beberapa nama ikhwan
dan akhwat menjadi target sasaran. Saat itu melalui forum akhwat beberapa nama
aku ajukan kepada Bang Tomi, mulai dari si A hingga Z. tentunya kami tidak
sembarangan meletakkan nama, memilih yang terbaik dari yang terbaik, belum lagi
pembagian posisi untuk beberapa lembaga lain yang kami pegang. Dina nama yang
sebenarnya kuharapkan untuk berada bersama kami di BEM universitas namun hingga
detik di penghujung keputusan namanya belum kudapatkan dari para senior akhwat
kampus, lobby terus kulakukan saat
itu, beberapa kali kuyakini kakak – kakak itu bahwa Dina pasti bisa duduk di
sana. Saat itu memang yang kuharapkan adalah Dina masuk menjadi pengurus BEM.
Sosok akhwat yang bagi ku paling cocok untuk bertarung di lembaga siyasi
kampus. Jarang ada akhwat yang seperti nya, orangnya yang supel, energik, tidak
banyak mengeluh, bisa diharapkan dan tahu betul bagaimana menghadapi dinamika
jika ditempatkan bersama dengan orang umum.
Teringat kembali
olehku di tahun 2009 ketika kami mencari utusan untuk mengikuti pelatihan. Ketua BEM fakultas ku membutuhkan dua orang akhwat untuk kesana, dia
mengamanahkan ku untuk mencari orangnya, entah mengapa lagi-lagi hati ku
terpaut kepadanya, lansung saja ku sms dia saat itu, tak lama setelah itu sms
balasan kudapatkan. Dan jawabannya sangat menyenangkan. Yak.. kesediaan nya tanpa
tahu pelatihan apakah itu dia lansung menyanggupi. Itulah yang senantiasa
membuat ku bangga kepadanya karena kutahu betapa sulitnya menemukan akhwat yang
seperti dia di sini. Kembali ke cerita
BEM universitas ku, aku pun kembali berusaha untuk memasukkan nama Dina kedalam
jajaran pengurus, entah alasan apa yang membuat kakak – kakak senior itu
sedikit berat memasukkan nama Dina, apakah karena ketakutan dengan stigma yang
suka menghubung hubungkan keberadaan
seorang kader jika ditempatkan di ammah
akan futur ada –ada saja menurutku.
Waktu ketika itu terus
berjalan, tak lama lagi nama-nama pengurus BEM baik akan segera dipublikasikan,
namun izin penempatan Dina belum juga keluar. Seminggu sebelum struktur
dibentuk oleh Bang Tomi akhirnya dengan kenekatan kami Dina di masukkan dalam
kepengurusan, resiko adalah masalah
nanti. Bagi ku potensi seorang Dina
tidak boleh tidak dimanfaatkan. Karena ku tahu kerja Bang Tomi bukanlah kerja
mudah, ibarat kapal maka tugas Bang Tomi adalah memperbaiki kapal yang telah rusak
total oleh karena itu butuh orang-orang yang bisa membantu nya. Kenekatan melanggar aturan jamaah terpaksa
diambil, melalui diskusi bersama Dina sore itu kukatakan padanya bahwa dia
harus masuk di BEM, dia harus membantu, dan ini pasti berat. Lagi-lagi Dina
tanpa banyak sanggahan mengatakan kesiapannya. Air matanya mengalir, kutahu pasti saat itu dia tengah
membayangkan Apak dan Adi harta yang paling
berharga yang dimilikinya di dunia ini.
Banyak hal yang
kulewatkan bersama Dina, di tahun 2010 hingga 2011 kami bersama-sama duduk
sebagai badan pengurus harian di KAMMI Komisariat, wajahnya selalu ceria
menyambut kami di setiap pagi nya di sekretariat pengabdian yang kami cintai,
saat itu pemikirannya bagai mutiara di lautan, lagi – lagi aku selalu merasa
Dina adalah sosok yang luar biasa, lahir dari kekurangan dan dibesarkan oleh
cobaan demi cobaan yang membuatnya
menjadi seperti sekarang ini. Kehilangan
kasih sayang ibu lalu kemudian terpisahkan hingga saat ini tanpa ingat
sekalipun dengan wajah sang Ibu, lalu seorang ayah yang sangat menyayangi nya
yang senantiasa menanti kepulangan Dina,
lalu memiliki seorang adik yang sangat merindukan Ibunya, seorang adik yang
pernah suatu ketika ditemui nya di pasar
sedang membersihkan kulit bawang demi upah lima ribu perak.
Dan Dina bukanlah
seorang aktivis dakwah kecengan, yang
hanya karena keterbatasaan lantas meninggalkan jalan perjuangan yang berliku
ini, tidak sedikit aktivis yang melakukan hal ini. Namun aku tahu Dina bukan
lah akhwat seperti itu, lagi-lagi kuingat ketika Dina yang saat itu diutus oleh
KAMMI untuk menjadi panitia persiapan PEMIRA di kampus, tentunya Dina tidak
boleh memihak kepada salah satu pasangan dia harus menjaga indepedensinya, pagi
itu di bulan Desember 2010 hari terakhir
kampanye pasangan calon , semua pendukung Bang Tomi dan Rino yang mayoritas
berasal dari anak KAMMI dan LDK kampus yang menjadi pendukung setia telah
bersiap-siap untuk melaksanakan kampanye akbar demi memberi dukungan dan
mendulang suara, tiba-tiba si Dina muncul dengan atribut anehnya, kacamata
besar, dan muka ditutup sapu tangan tak lupa jaket. Aku tahu betul Dina pasti
tidak bisa menahan gejolak semangat nya untuk turun bersama kami pagi itu,
senyum bangga tersungging di bibir ku, Ah.. Dina betapa aku bangga padamu.
Kini Dina masih setia
menemani Bang Tomi di BEM, tanpa melupakan posisinya sebagai seorang
koordinator di salah satu departemen di Komsat, setiap hari sembari
menyelesaikan Proposal nya Dina masih tetap setia, tak ada waktu berleha-leha
baginya, siapa pun yang membutuhkan bantuannya pasti akan dibantunya.
Bersama-sama dengan akhwat komsat lainnya Dina membimbing adik-adiknya untuk
menjadi akhwat tangguh dan kuat.
Terakhir kulihat dia berpeluh-peluh membantu panitia dalam pelatihan
kepemimpinan tingkat daerah, setiap saat mencuci piring yang kotor dan
mempersiapkan segala kebutuhan untuk peserta pelatihan, namun tak kuasa pula
ketika kulihat dia terkapar di kamarku sore itu di hari kedua pelatihan, dengan
wajah penuh minyak dan kusam, Dina masih tetap saja tersenyum dan masih bisa
bercanda dengan ngocol gaya khas
seorang Dina.
Ah..Dina sosok akhwat
militan yang luar biasa, bersama dengannya aku punya banyak harapan, sejak dulu
aku paling bisa menghandalkan Dina, menggalang massa dari kampus untuk pergi
aksi menjadi perkerjaan yang menyenangkan bagi kami, undangan seminar dari
kampus lain pun disanggupinya, menjemput pembicara dari ujung ke ujung pun tak masalahnya
baginya. Walaupun letih sering menghampiri namun Dina tetap melaksanakan kewajiban,
setelah seharian beraktivitas malamnya dilanjutkan lagi dengan bekerja. Ah..
Dina andai saja Ikhwah-ikhwah cengeng
itu tahu bagaimana semangat nya kamu seharusnya mereka malu.
Mengutip sebuah kalimat di buku
“mengapa aku mencintai KAMMI” yang
menuliskan tentang semangat akhwat-akwhat KAMMI maka Dina adalah satu dari
ribuan akhwat militan itu, dia adalah bunga haroki yang mana diamnya adalah
mati, teringat bagaimana ketika Asma`
binti Yazid bin Sakan ditunjuk sebagai juru bicara mewakili
perempuan di masanya menanyakan tentang posisi perempuan di mata Allah maka
Rasulullah menjawab bahwa bakti dan patuh
kepada suami lah yang akan menghantarkanya
mendapat pahala setimpal dengan yang didapat oleh laki-laki yang pergi
berperang. Asma yang setelah Rasulullah wafat turun ke medan perang bersama
para wanita lainnya, dia berada di antara kobaran semangat perang Yarmuk saat
itu. Asma mencurahkan segala kemampuan dengan
membantu mempersiapkan senjata, memberikan minum bagi para mujahidin dan
mengobati yang terluka diantara mereka serta memompa semangat juang kaum
muslimin. Maka tidak ada alasan bagi seorang akhwat untuk bermanja-manja
kerjakan apa yang bisa dikerjakan, pekerjaan rumah bangsa ini begitu banyak
ketika pekerjaan itu membutuhkan banyak orang maka akhwat harus mengambil peran
di sini, jika seorang Khadijah mampu menjadi penopang dakwah Rasulullah di masa
awal maka akhwat pun harus demikian, jika seorang Cut Nyak Dien tidak sedikit
pun gentar menghadapi Belanda masa itu maka saat ini tidak perlu ada yang kita
takuti dalam perjuangan ini.
Akhwat
KAMMI di tempa menjadi akhwat tangguh yang senantiasa berada di garda terdepan
memimpin kaumnya, membela harkat dan martabat wanita. Seorang perempuan tangguh
pasti akan melahirkan generasi yang tangguh pula, seorang perempuan yang rapuh
akan melahirkan generasi yang rapuh pula.
Dina
dan akhwat-akhwat KAMMI lainnya adalah inspirasi bagi yang lainnnya dalam
keterbatasan hidup keluarga Dina tetap tampil menjadi aktivis sejati. Mimpinya
untuk membangun kebahagiaan bersama Apak
dan Adi adalah mimpi yang dibangun diatas mimpinya untuk mendedikasikan hidup
untuk jalan dakwah ini. Untuk Negara Indonesia, untuk Bumi pertiwi.
*Apak
: Panggilan untuk Ayah
My Dedication :
For All Akhwat di Universitas Islam Riau My
Lovely University, I Love You so Much Ukh..
u/ mereka yg pernah merasakan bahwa berada “sendirian” di BEM FKIP
dan UNIV itu sangat menyenangkan
u/ mereka yang pernah dan masih ada
Di komisariat Al Adiyat UIR,
menyenangkan ^_^, dan u/ adik –
adiku yang sekarang di sana
juga u/ akhwat Aklamasi ku (Evi , Kak Desi,
Mbak Irfa, Uni Rini, Amie, Iis)
untuk semua Kakak dan adik-adik di
UKMI Asy Syuhada ( Ngaji yuk..)
Last..
Hey.. Ukhti I am Love you so Much
too..Ya..You in KAMMI Daerah Riau (Meri, Ilam,
Lusi, Inung,Anggie, Ezi, Ana, Ises, Evi, Kak Fizoh, Kak Siti, Mbak Ijum, Lilis, Silvi, Batdal,
and all) Memori malam minggu bersama kalian tak akan terlupakan, Jepangmu,
Qatarmu, UI mu, malaysia yg kau tuju, jumpa kita di cita-cita agung itu ^_^
Oleh Ria Bustanudin
Staff
Kebijakan Publik KAMMI Daerah Riau