Total Tayangan Halaman

Jumat, 20 Januari 2012

Khalid bin Walid adalah legenda perang dunia.





Kisah Tiga Sahabat Mulia

Umar bin Khattab, Khalid bin Walid dan Abu Dzar al-Gifari. Tiga sahabat Rasulullah yang amat masyhur kemuliaannya, semoga Allah merahmati beliau. Mereka merupakan simbol perlawanan, simbol perjuangan.

Umar bin Khattab adalah mantan jagoan Mekkah. Saat seluruh kaum muslimin berhijrah ke Madinah dengan sembunyi-sembunyi, justru Umar memproklamirkan hijrahnya. “…Barangsiapa ingin diratapi ibunya, ingin anaknya jadi yatim atau istrinya jadi janda; temui aku di balik lembah itu!!!”, teriaknya lantang di tengah musyrikin Quraisy di Ka’bah.

Khalid bin Walid adalah legenda perang dunia. Mantan aktor utama kekalahan Rasulullah dalam perang Uhud itu menjadi panglima paling brilyan dalam naungan Islam. Dialah Syaifullah yang menyelamatkan ribuan jiwa sahabat dalam perang Muktah. Dialah yang mengusir Heraklius sang jendral besar Romawi dari Syam. Heraklius sendiri amat meratapi kekalahannya dari singa gurun pasir itu. Dia pulalah yang meluluh lantakkan Musailamah al-Kadzdzab si nabi palsu yang sudah banyak membunuh sahabat Rasulullah.

Abu Dzar al-Gifari dari suku Gifar, suku yang tiada taranya dalam menempuh perjalanan padang pasir. Mereka menjadi tamsil perbandingan dalam perjalanan yang luar biasa, baik malam atau pun siang hari tidak masalah bagi mereka. Dan celakalah orang yang kesasar bertemu suku Gifar di malam hari!!!. Abu Dzar mewarisi sifat keras dan militansi sukunya. Saat baru masuk Islam, beliau dengan lantang mengucapkan syahadat di depan Ka’bah. Teriakan pertama tentang Islam diproklamirkan untuk menentang kesombongan Quraisy, justru dilakukan oleh perantau asing yang tidak punya kerabat atau pembela. Tak ayal, Abu Dzar habis dihajar masyarakat Quraisy. Baru pulih sedikit dari lukanya, Abu Dzar ingin bergegas melakukan provokasi itu sekali lagi. Untunglah segera dicegah para sahabat.

Ketiga sahabat militan itu memiliki “garis hidup” yang berbeda pasca kejayaan Islam. Umar sang jagoan berubah menjadi laki-laki lembut yang mudah menangis saat memegang tampuk khilafah. Kekuatan dan kecerdasannya membuatnya sukses memperluas dan mengelola wilayah Islam yang amat besar. Membentang dari perbatasan Hindustan hingga sungai Nil, dari Hadramaut hingga Armenia.

Khalid sang panglima seakan ditakdirkan hanya sebagai prajurit sejati. Namun gagal saat melakoni peran barunya sebagai Gubernur penaklukan Armenia. Beliau memilih memberikan harta kepada para pembesar untuk memperkuat fondasi pemerintahan dari pada kepada rakyat banyak. Hal ini amat membuat berang khalifah Umar bin Khattab. Beliau mencopot panglima besar itu dan mengirimnya balik ke Madinah.

Abu Dzar al-Gifari sang radikal revolusioner justru tidak diberi kesempatan menjadi pemimpin. Saat hampir seluruh sahabat terbaik Rasulullah memegang berbagai amanah publik dan strategis, Rasulullah menetapkan Abu Dzar tetap seperti sedia kala. Namun justru dari sinilah, Abu Dzar melakukan peran otokritik yang amat efektif. Sepeninggal khalifah Umar, hampir semua pejabat berlomba memperkaya diri. Disinilah Abu Dzar muncul, beliau berjalan dari satu negeri ke negeri yang lain mengontrol perilaku penguasa dan mengajak mereka kembali hidup sederhana.

Sekarang tantangan zaman terus berkembang. Dan perubahan memang menjadi watak dunia ini. Hanya satu hal terus konsisten, yaitu perubahan itu sendiri.

Maka, kenalilah perubahan dan berbagai tantangannya. Jangan lagi terjebak pada romantisme masa lalu. Para sahabat tidak berlama-lama mengenang sulitnya hidup di Mekkah, atau susahnya perjalanan hijrah. Bagaimana menjayakan Islam diseluruh penjuru dunia. Bagaimana mengelola pemerintahan dan masyarakat yang kian luas dan majemuk. Itulah yang menjadi perhatian besar mereka. Semua tantangan itu sudah cukup membuat mereka sibuk hingga tidak ada waktu untuk berselisih dan berpecah-belah.

Tidak ada waktu untuk melakukan berbagai hal yang justru memberatkan langkah derap perjuangan ini. Sebagaimana ucapan Rasulullah bagi orang-orang tertinggal dalam perang Tabuk :

“Biarkanlah! Andaikan ia berguna, tentu akan Allah susulkan untuk kalian. Dan andaikan tidak, maka Allah telah membebaskan kalian dari padanya”.

Sahabatku yang baik, semoga Allah memberikan keistiqomahan kepada anda, dan bagi yang belum tergabung dengan kafilah perubahan…Bergabunglah.

Wallahu a’lam.

(Disunting dari majalah Al-Izzah)

“Kesabaran Yusuf menghadapi rayuan istri tuannya lebih sempurna daripada kesabaran beliau saat dimasukkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya




Januari 28, 2010 (diambil dari tulisan Edi Purnama/ Jakarta) 
Risalah Untuk Para Ikhwan dan akhwat 

Akhii, kutuliskan risalah ini bagimu. Bukan karena apa. Kau adalah saudaraku, Akhii fillah. Karena Allah Ta’ala.

Akhii, sesungguhnya hati manusia ada di antara jari-jemari Ar Rahman. Maka beruntunglah orang yang dihadapkan hatinya pada ketaatan pada Allah Ta’ala. Sungguh benarlah doa yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam panjatkan, “Allahumma musharrifal quluub, sharrif quluubanaa ‘alaa tha’atika” (Ya Allah, Dzat Yang Memalingkan Hati, palingkan hati kami di atas ketaatan pada-Mu)

Akhii, sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan lemah. Manusia, ya Akhii. Tak terkecuali. Laki-laki maupun wanita.
 Tahukah kau wahai Akhii, panutan kita Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah mengingatkan kita dalam sabdanya yang artinya, “Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih membahayakan kaum laki-laki daripada fitnah wanita.”

Dan agama kita yang mulia juga telah mengajarkan adab-adab bergaul dengan lawan jenis yaa, Akhii. Bila kita tapaki perjalanan salaful ummah, kita akan temukan betapa mereka menjaga adab-adab tersebut.

Maka tidak layak bagi kita untuk bermudah-mudah dalam bergaul dengan lawan jenis. Janganlah bermain-main dengan kehormatan, yaa Akhii. Allah Ta’ala selalu mengawasi kita di manapun dan kapanpun. Apakah itu dalam kamar tertutup rapat, ketika kau sedang asik ber-SMS dengan wanita yang bukan mahrammu tanpa keperluan yang mendesak. Sama sekali bukan untuk hal yang membawa mashlahat, hanya untuk mengatakan,

“Ap kbr, Ukhti? Lg sbk ap skrng?”
 “Smgt ^_^”
 “Ttp senyum nggih =)”

Atau untuk sekadar mengirimkan nasehat. Entah itu terjemah Al Qur’an, potongan hadits, atau perkataan ulama. Apa maksud yang ada dalam hatimu, yaa Akhii? Banyak teman-teman ikhwan yang lebih berhak kau beri perhatian dan nasehat. Na’am, murni perhatian dan nasehat, tanpa tendensi apapun.

Tahukah yaa Akhii, terkadang syaithan menghiasi keburukan sehingga menjadi tampak indah. Bahkan terkadang syaithan membuka sembilan puluh sembilan pintu kebaikan untuk menjerumuskan manusia kepada satu pintu keburukan.

Akhii, Ibnu Taimiyah pernah berkata yang artinya, “Kesabaran Yusuf menghadapi rayuan istri tuannya lebih sempurna daripada kesabaran beliau saat dimasukkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya, saat dijual dan saat berpisah dengan bapaknya. Sebab hal-hal ini terjadi di luar kehendaknya, sehingga tidak ada pilihan lain bagi hamba kecuali sabar menerima musibah. Tapi kesabaran yang memang beliau kehendaki dan diupayakannya saat menghadapi rayuan istri tuannya, kesabaran memerangi nafsu, jauh lebih sempurna dan utama, apalagi di sana banyak faktor yang sebenarnya menunjang untuk memenuhi rayuan itu, seperti keadaan beliau yang masih bujang dan muda, karena pemuda lebih mudah tergoda oleh rayuan. Keadaan beliau yang terasing, jauh dari kampung halaman, dan orang yang jauh dari kampung halamannya tidak terlalu merasa malu. Keadaan beliau sebagai budak, dan seorang budak tidak terlalu peduli seperti halnya orang merdeka. Keadaan istri tuannya yang cantik, terpandang dan tehormat, tanpa ada seorang pun yang melihat tindakannya dan dia pula yang menghendaki untuk bercumbu dengan beliau. Apalagi ada ancaman, seandainya tidak patuh, beliau akan dijebloskan ke dalam penjara dan dihinakan. Sekalipun begitu beliau tetap sabar dan lebih mementingkan apa yang ada di sisi Allah.”

Yaa Akhii, tidakkah kau ingin meneladani Yusuf ‘Alaihis Salam? Seorang pemuda yang menjaga iffah-nya yang dijanjikan mendapatkan perlindungan Allah Ta’ala di bawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada lagi naungan selain naungan-Nya.

Yaa Akhii, mungkin kau sudah pernah mendengar sebuah hadits dari Nau’as Ibni Sam’an radiyyallahu anhu yang artinya, “Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam tentang kebaikan dan kejahatan. Beliau bersabda: “Kebaikan ialah akhlak yang baik dan kejahatan ialah sesuatu yang tercetus di dadamu dan engkau tidak suka bila orang lain mengetahuinya.”

Yaa Akhii, kebahagiaan sejati tidak akan diperoleh dengan cara yang haram. Percayalah itu. Cara ini hanya akan menimbulkan kesusahan dan kerusakan pada diri serta terbuangnya harta dengan sia-sia. Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik darinya.

Terakhir yaa Akhii, saya akan nukilkan perkataan Salman Al Farisi radiyyallahu ‘anhu dari Ja’far bin Burqan yang artinya, “Ada tiga orang yang membuatku menangis dan tiga orang lagi membuatku tertawa. Aku tertawa melihat orang mengejar dunia sedangkan kematian telah mengintainya, orang berbuat lalai berbuat padahal dirinya tak pernah dilupakan, dan orang banyak tertawa, sedangkan ia tidak tahu apakah Allah murka ataukah ridha kepadanya. Dan aku menangis karena kepergian orang-orang yang dicintai, yaitu kepergian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan pengikutnya, kedahsyatan yang sangat mengerikan saat berada di pintu kematian, dan saat berdiri di hadapan Rabb semesta alam, yaitu ketika aku tidak mengetahui apakah aku akan dikembalikan ke surga atau ke neraka.

Kuharap risalah ini memperberat timbangan amal kebaikanku kelak. Pada hari di mana harta dan anak takkan berguna kecuali orang yang menghadap Allah Ta’ala dengan hati yang selamat.
 Wallahu’alam.

“ana sudah tidak sanggup lagi akh, mendingan ana mengundurkan diri….”

Diambil dari Tulisan Bang Edi Purnama (Jakarta)
Oktober 11, 2010
Meniti jalan profesional (Itqonul amal..)

“ana sudah tidak sanggup lagi akh, mendingan ana mengundurkan diri….”

Demikianlah bisikan seorang ikhwan di tengah syuro yang berlangsung cukup ‘memanas’. Suara ikhwan di balik hijab pun kian tinggi saja, bersahut-sahutan dengan sanggahan seorang akhwat di sisi lain.

Menjelang hari H, masih banyak pekerjaan panitia yang belum tuntas. Bagi segelintir panitia, P4L (pergi pagi pulang pagi lagi) tampaknya jadi kemestian. Dan hari itu tibalah, jumlah peserta melebihi target dan seluruh pendukung acara hadir, Alhamdulillah. Acara selesai dan dianggap lumayan sukses walau menyisakan hutang hingga bilangan jutaan.

“Dari mana kita melunasi hutang itu akh..?”

“Kita minta sama Allah”

Ba’da itu, sebagaimana tiap usai sebuah kegiatan, diadakanlah muhasabah. “Mari bersama-sama kita lapangkan dada serta membuang semua prasangka yang bisa merusak keikhlasan hati. Hendaknya selesai dari sini, kita semakin dikuatkan, semakin kokoh sebagai rijalud dakwah. Bukan sebaliknya…”, demikianlah taujihat ikhwan yang bertindak sebagai Steering Committee (SC). Sore itu masing-masing panitia bersalaman, berpelukan, dan ada juga yang terharu sambil bergumam, “Gak nyangka ya, ternyata Forkalam bisa melakukan acara ini, padahal keuangan kita hanya sedikit…hmm”.

Ini bukan penggalan fiksi, dan kisah di atas sebenarnya masih panjang lagi. “Kasus-kasus” klasik tentang kerja yang terdistribusikan hanya pada sedikit orang, Oknum panitia yang tidak amanah, ‘gesekan-gesekan’ antar personal, dan masih banyak lagi yang ikut menghiasi kinerja kepanitiaan itu.

Belum lagi berbicara tentang ‘penzholiman’ terhadap keluarga, orang tua dan saudara di rumah yang juga harus sering menahan kedongkolan karena jomplangnya perhatian sang aktivis antara dakwah di kampus dengan perhatian terhadap keluarga. Belum lagi ancaman mengulang kuliah gara-gara sering ditinggal manakala ada agenda, dan pada yang sama terngiang jargon : “Jasad kuat, dakwah hebat, IP 4”

Kalau sudah begini, alih-alih mensugesti diri dengan kalimat tauhid “ innallaha ma’ashshobirin”, bisa-bisa yang terucap malah :”pusiiiiing!…..”

Mari kita berbenah….



Al-Insaan

Prinsip Al-Insaan yang kita pahami adalah bahwa setiap manusia punya tiga potensi : hati (ruh), otak (aql), dan jasad. Kelengkapan tiga potensi ini merupakan syarat mutlak bagi seseorang agar berdaya secara utuh.

Walaupun konsep ini sudah jadi santapan sejak awal tarbiyah (pembinaan), namun realisasinya memang tak seindah dan semudah yang dibayangkan. Tuntutan untuk bisa menjadi da’i yang itqon (professional) dan cerdas berbarengan dengan tuntutan untuk menjaga hubungan antar manusia.

Pada saat seorang da’i terjun dalam aktivitas dakwah ammah, itqonul amal tampaknya memang jadi keniscayaan. Berbekal hamasah untuk meninggikan izzah diennya, profesionalisme menjadi kata yang ditulis besar-besar dalam buku agenda.

Walau demikian, jangan lupa da’i (yang notabene adalah manusia juga) bekerja dengan manusia juga. Dan tidak semua tipikal manusia bisa bekerja secara otomatis, layaknya mesin. Ada manusia yang begitu perasa dan ada pula yang sangat teoritis. Ada yang unggul dalam penguasaan fikroh, ada yang unggul dalam rutinitas ibadah mahdhah. Begitu seterusnya. Begitu beragamnya manusia, hatta manusia yang sama-sama tertarbiyah.

Anyway, once again, basically all human beings need to be filled in those three potentions. Semuanya butuh asupan untuk memenuhi keseimbangan fungsi-fungsinya. Maka, manakala seorang da’i menjadi “mati rasa”, menjadi sedemikian mekanis layaknya mesin, ia perlu ingat bahwa mesin pun butuh pelumas.

Kesuksesan sebuah amal dakwah, taruhlah sebagaimana kegiatan pada kisah di atas, tidak dapat di ukur hanya dari variabel-variabel yang kasat mata. Membludaknya peserta atau peliputan berbagai media massa, tidak cukup menjadi indikator sukses sebuah amal dakwah apabila menyisakan hubungan yang retak. Ukhuwahlah yang seharusnya mampu menjadi pelumas mesin itu. Dan ukhuwah, sangat terkait dengan ikatan hati (ta’liful qulub), terkait dengan kemampuan untuk berhubungan secara interpersonal. Sedangkan kekuatan hati itu tergantung pada quwwatus sillah billah (kekuatan hubungan seorang hamba dengan Rabbnya).

Demikian pula, da’i tidak bisa berkutat pada hubungan interpersonal semata dengan mengabaikan kerja-kerja teknis yang dibutuhkan bagi sebuah seminar, aksi, atau agenda lainnya agar menjadi sebuah kegiatan yang layak. Kegiatan itu toh juga butuh pasukan yang jiddiyah mencari dana, menyebarkan publikasi, menata setting acara, dan kerja-kerja operasional lainnya.

Semestinya tidak ada potensi manusiawi yang terdzolimi demi memenuhi yang lain. Mendzolimi hati bisa berakibat turut terdzoliminya fikri dan jasmani. Demikian pula sebaliknya.

Berharap bisa professional, namun mengesampingkan kedekatan hati, baik antar personal maupun dengan Khaliknya, maka rasa-rasanya itu pun termasuk kezholiman.



Ketawazunan Jama’i

Oleh karena itu dalam setiap aktivitas yang melibatkan insan, sekompleks apapun kondisinya, seberagam apapun kasusnya, insya Allah akan menjadi aktivitas yang sukses tidak saja secara lahiriah namun juga kesuksesan secara yang hakiki, asal masing-masing dari ketiga potensi itu dipenuhi kebutuhannya secara adil. Dan bukankah itu adalah itqonul amal yang sesungguhnya?.

Dengan begitu, konsep ketawazunan dalam Al-Insaan hendaknya dipahami sebagai konsep yang tidak berlaku fardhi atau bagi orang per orang saja, namun lebih kompleks lagi juga berlaku di dalam sebuah sistem amal jama’i.

Yakinlah bahwa teori yang indah di atas kertas itu juga bisa terwujud di lapangan bila setiap da’i tak hanya taat mengikuti ta’limatnya, melainkan juga taat mejalankannya.

Bila penzholiman demi penzholiman ini masih terjadi juga, maka mungkin di sela-sela kepenatan beraktivitas dakwah, kita perlu berkontemplasi sejenak. Perlu membuka-buka lagi lembaran madah liqo’at kita, dan tentunya juga membuka mata dan hati kita.

Sebagaimana jingle iklan sebuah kopi instant: “Buka mata, buka hati, buka pikiran…”

Sesungguhnya bersama kesulitan selalu ada kemudahan. Wallahu’alam.

(Materinya diambil dari majalah Al-Izzah)

———

Edi Purnama

Februari 2010

terima kasih pada semua pihak yg telah menginspirasi…