By Ria Bustanudin
Berbicara masalah ekonomi dari jaman dahulu hingga kini di Indonesia umumnya
dan beberapa daerah khususnya perempuan dijadikan tulang punggung ekonomi
keluarga, dipulau Jawa perempuan bersama-sama dengan pria turun ke sawah, di
perkampungan-perkampungan para perempuannya turut menggembalakan ternak
miliknya atau milik orang lain dimana dengannya dia mendapat upah, bahkan
di pasar-pasar tradisional wanita mendominasi sekira 80% hingga 90% persen, dan
juga pekerja wanita (Pramuniaga) di mal-mal yang berkisar antara 70% hingga 80%
wanita. Dalam dunia kerja perempuan memegang peranan sangat signifikan detik
finance mencatat bahwa di tahun 2007 Jumlah perempuan yang bekerja jumlahnya
semakin banyak. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), partisipasi
perempuan dalam lapangan kerja meningkat signifikan. Selama Agustus 2006 hingga
Agustus 2007 jumlah pekerja perempuan bertambah 3,3 juta orang penyebab
terjadinya peningkatan jumlah pekerja perempuan adalah adanya unsur
keterpaksaaan yang harus dijalani kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarganya. Peningkatan jumlah pekerja perempuan sebagian berasal dari
perempuan yang sebelumnya berstatus mengurus rumah tangga (bukan angkatan
kerja). Di sisi lain peningkatan jumlah tenaga kerja perempuan terjadi di
sektor informal yang memberikan adanya indikasi kemudahan keluar masuk pasar
tenaga kerja. Sementara itu pertambahan jumlah pekerja laki-laki hanya sebesar
1,1 juta orang. Jumlah pekerja laki-laki itu terserap di sektor jasa dan
konstruksi. Peluang ini berpotensi menjadikan pekerja - pekerja perempuan
menjadi korban eksploitasi terbesar dalam sistem neoliberalisme.
Eksploitasi
terhadap perempuan tidak lagi berkisar antara kekeresan fisik atau
pelecehan seksual yang lazim terjadi atau penindasan terhadap perempuan
sifatnya bukan hanya yang dapat terlihat oleh mata seperti, upah buruh
perempuan yang rendah, atau pendidikan dan kesehatan yang terlalaikan oleh
negara, namun lebih dari itu aksi-aksi penindasan terhadap perempuan justru
lebih menyentuh ke kesadaran mereka. Jika dulu ketika R.A Kartini
memperjuangkan pendidikan yang setara antara wanita dan pria di zaman
penjajahan dengan membela kepentingan wanita yang tertindas maka kini wanita
kembli ditindas oleh kebengisan zaman dimana wanita ditindas oleh pemilik modal
yang bertujuan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya menjadi. Pemilik
modal berlomba-lomba mengeksploitasi perempuan.
. Belum lagi Iklan-iklan di media cetak dan elektronik pun sebagian besar menjadikan
perempuan sebagai modelnya. Salah satu contoh Saat ini pramuniaga-pramuniaga
yang bekerja di mal-mal khususnya di kota pekanbaru menjadi objek eksploitasi
terbesar termasuk juga iklan-iklan yang memajang perempuan sebagai modelnya.
Disadari
betul oleh pemilik modal ketika era pasar bebas masuk kaum penumpuk modal itu
bukan hanya mengembangkan pembuatan produk, tetapi juga mengontrol kesadaran
massa tentang tubuh melalui pencitraan tubuh ideal lewat berbagai media, dan
antara lain via propaganda iklan. Dan itu dicitrakan melalui perempuan.
Perempuan yang berkerja di hotel dan mal-mal di kota pekanbaru saat ini 70% nya
menjadi objek eksploitasi. Ditambah lagi RUU tenagakerjaan yang mengatur khusus
untuk perempuan belum terlalu jelas dan belum memberi perlindungan aman bagi
pekerja terutama pekerja wanita . Tuntunan ekonomi yang menjadi
penyebab perempuan-perempuan muda lulusan SMA/SMK ini harus untuk
menjadi tulang punggung keluarga. Banyaknya Mal, Hotel dan Bank (khusunya
Bank Konvensioanal) yang saat ini berkembang pesat di Pekanbaru menjdikan
lapangan kerja untuk perempuan terbuka lebar. Pramunia-pramuniaga atau
yang biasa disebut sales promo girl tersebut memaksanya memakai pakaian yang
membuka aurat, rok diatas lutut, belum lagi kewajiban memakai high heels
yang jelas-jelas tidak membuat nyaman dan bisa merusak kesehatan jika digunakan
terus menerus, jam kerja yang sama antara wanita dan pria. Ditambah lagi upah
minimun saja belum mampu memenuhi kebutuhan si perempuan tersebut ditambah lagi
dengan jam kerja yang kadang tidak sesuai. Para perempuan yang bekerja di
bandara juga tak lepas dari eksploitasi kapitalis, bandara sebagai gerbang
masuk nya wisatawan atau tamu dari luar kota dimana image kota yang seharusnya
menjadi pencitraan sebagai kota melayu ketike menginjakkan kaki disana
kekhasaan dari Pekanbaru tercermin justru tidak terlihat ketika perempuan
–perempuan penjual makanan atau souvenir khas yang ada disana terlihat sama
saja dengan pekerja-pekerja perempuan di kota-kota lain di Indonesia.
Ciri sebagai kota melayu pun tak terlihat . apatah lagi jika kita melihat di
Mal-mal atau hotel pekerja wanitanya wajib memakai rok mini diatas lutut
sedangkan pekerja pria memakai pakaian tertutup rapi. Ironis namun bisa
jadi bukan karena keinginan mereka tapi tuntutan pekerjaan. Ulfah Nurhidayah
dalam blog nya yang berjudul Wajah perempuan di Dunia iklan mengatakan
bahwa Manusia saat ini tengah memperalat dan mengeksploitasi satu sama
lain. Dalam hal ini hidup sedang disangkal, karena kerja yang seharusnya
menjadi ekspresi dan kreatifitas kemakhlukan, menjadi kerja yang terpaksa,
untuk mendapatkan upah, untuk sekedar dapat bertahan hidup.” Bisa jadi saat ini
pekerja wanita di Riau ini tidak lagi dipekerjakan secara manusiawi tapi lebih
kepada keterpakasaan untuk sebuah tuntutan ekonomi keluarga. Pemilik modal
tidak lagi peduli dengan etika dan nilai.
Sekarang ini citra perempuan yang lebih banyak dipengaruhi oleh pencitraan
iklan menjadikan perempuan sebagai penarik konsumen ketimbang menaikkan
kualitas produk sekarang ini citra perempuan yang dianggap baik adalah yang
terlihat cantik, seksi, disukai banyak lelaki, memiliki sifat konsumtif, dan
lain-lain. Nilai-nilai yang sejatinya harus ditanamkan tidak terlihat sedikitpun.
Hal tersebut akan berimplikasi pula pada kultur perempuan Indonesia itu
sendiri. Bertolak dari stereotip yang dipaksakan oleh media, secara perlahan
dan tidak disadari kultur perempuan Indonesia akan bergeser ke arah stereotip
itu. Nilai-nilai ketimuran yang menjunjung tinggi nurani yang dimiliki
perempuan indonesia, perlahan-lahan tergantikan oleh budaya materialistik.
Stereotip ini akan menyeret orang memandang dari segi kecantikan lahiriah saja.
Tentunya hal ini sangat memiriskan hati. Pekerja perempuan tidak lagi
terlindungi hak-hak dan kewajibannya. Belum lagi kepedulian perusahaan
terhadap hak kesehatan pekerja wanitanya. Hak cuti haid dan melahirkan telah
diatur dalam UU ketenakarjaan namun sering diabaikan oleh perusahaan.
Padahal seperti ditegaskan diatas jumlah pekerja perempuan baik di sektor formal maupun informal sangat besar, yaitu sebanyak 39,95 juta jiwa, dengan 25 juta di antaranya berada dalam usia reproduksi 15-45 tahun. Kelompok usia reproduksi itu dinilai membutuhkan perhatian khusus sesuai kodratnya dan sudah dijamin dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dan ini kiranya menjadi PR besar bagi pemerintah daerah dan pusat. UU ketenagakerjaan masih sangat lemah untuk melindungi hak buruh dan pekerja terutama disini perempuan. Pemerintah harus tanggap dalam memprioritaskan kebijakan-kebijakan yang membela kaum perempuan. Dan tidak muluk-muluk juga jika kita berharap agar tidak lagi ada pengeksploitasian perempuan baik dalam tampilan iklan cetak/elektronik atau pekerja perempuan yang dipaksakan memmenuhi keinginan perusahaan atau apapun bentuk penindasan yang berada dalam lingkaran liberal – kapitalistik dengan cara mengkontrol ketamakan pasar dan mengembalikan keadilan ekonomi di tangan rakyat.
Padahal seperti ditegaskan diatas jumlah pekerja perempuan baik di sektor formal maupun informal sangat besar, yaitu sebanyak 39,95 juta jiwa, dengan 25 juta di antaranya berada dalam usia reproduksi 15-45 tahun. Kelompok usia reproduksi itu dinilai membutuhkan perhatian khusus sesuai kodratnya dan sudah dijamin dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dan ini kiranya menjadi PR besar bagi pemerintah daerah dan pusat. UU ketenagakerjaan masih sangat lemah untuk melindungi hak buruh dan pekerja terutama disini perempuan. Pemerintah harus tanggap dalam memprioritaskan kebijakan-kebijakan yang membela kaum perempuan. Dan tidak muluk-muluk juga jika kita berharap agar tidak lagi ada pengeksploitasian perempuan baik dalam tampilan iklan cetak/elektronik atau pekerja perempuan yang dipaksakan memmenuhi keinginan perusahaan atau apapun bentuk penindasan yang berada dalam lingkaran liberal – kapitalistik dengan cara mengkontrol ketamakan pasar dan mengembalikan keadilan ekonomi di tangan rakyat.
Dan yang terpenting dari itu semua itu hharus dikembalikan kepada perempuan itu
tersebut. Negara bertanggung jawab mengembalikan kepentingan dan hak-hak
terhadap perempuan jika Iran mampu membuat kebijakan dengan membuat beberapa
kebijakan yang memihak wanita diantaranya jam kerja perempuan lebih singkat
ketimbang laki-laki dan menekankan perempuan prioritas utamanya adalah
keluarga. Maka Tidak heran jika Ahmadinejad sangat didukung oleh kaum wanita
disana karena kebijakan yang berpihak pada perempuan. Perempuan dibalik
kelemahan dan kekuatannya memliki peran masing-masing . Jika negara masih
menjadikan perempuan sebagai objek maka perempuan selamnya akan
dieksploitasi. Isu gender yang diusung oleh aktivis gender malah terlihat tidak
membela kepentingan perempuan tersebut ataupun bahkan di beberapa daerah yang
pemimpin daerah nya seorang wanita saja hak-hak terhadap perempuan masih sering
terabaikan bahkan kekerasan terhadap perempuan terus saja meningkat bahkan
sampai sekarang perempuan masih dipekerjakan ditempat-tempat umum yang rentan
pelecehan.
Sesungguhnya Tidak ada yang meragukan kekuatan seseorang wanita namun alangkah
lebih indah dan terhormat jika perempuan indonesia kembali menjadi
perempuan yang memiliki nilai berdasarkan norma dan aturan agama Dari
zaman penjajahan wanita telah turut berjuang membela negara ketika suaminya
gugur sang wanita menggantikan peran suamniya bukankah dalam Al-Quran Islam
telah menggambarkan bahwa wanita adalah tiang agama jika perempuannya baik maka
baiklah negara itu jika perempuan rusak maka rusak lah negara tersebut. Maka
jangan rusak perempuan indonesia untuk mendapat keuntungan semata dan
kembalikan wanita dalam kondratnya sebagai tiang negara
TOLAK EKSPLOITASI WANITA OLEH PERUSAHAAN