Total Tayangan Halaman

Jumat, 04 November 2011

TOLAK EKSPLOITASI WANITA OLEH PERUSAHAAN



Perempuan “Tereksploitasi
By Ria Bustanudin

            Berbicara masalah ekonomi dari jaman dahulu hingga kini di Indonesia umumnya dan beberapa daerah khususnya  perempuan dijadikan tulang punggung ekonomi keluarga, dipulau Jawa perempuan bersama-sama dengan pria turun ke sawah, di perkampungan-perkampungan para perempuannya turut menggembalakan ternak miliknya atau milik orang lain dimana dengannya  dia mendapat upah, bahkan di pasar-pasar tradisional wanita mendominasi sekira 80% hingga 90% persen, dan juga pekerja wanita (Pramuniaga) di mal-mal yang berkisar antara 70% hingga 80% wanita. Dalam dunia kerja perempuan memegang peranan sangat signifikan detik finance mencatat bahwa di tahun 2007 Jumlah perempuan yang bekerja jumlahnya semakin banyak. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), partisipasi perempuan dalam lapangan kerja meningkat signifikan. Selama Agustus 2006 hingga Agustus 2007 jumlah pekerja perempuan bertambah 3,3 juta orang penyebab terjadinya peningkatan jumlah pekerja perempuan adalah adanya unsur keterpaksaaan yang harus dijalani kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Peningkatan jumlah pekerja perempuan sebagian berasal dari perempuan yang sebelumnya berstatus mengurus rumah tangga (bukan angkatan kerja). Di sisi lain peningkatan jumlah tenaga kerja perempuan terjadi di sektor informal yang memberikan adanya indikasi kemudahan keluar masuk pasar tenaga kerja. Sementara itu pertambahan jumlah pekerja laki-laki hanya sebesar 1,1 juta orang. Jumlah pekerja laki-laki itu terserap di sektor jasa dan konstruksi. Peluang ini berpotensi menjadikan pekerja -  pekerja perempuan  menjadi korban eksploitasi terbesar dalam sistem neoliberalisme.             Eksploitasi  terhadap perempuan tidak lagi berkisar antara kekeresan fisik atau pelecehan seksual yang lazim terjadi atau penindasan terhadap perempuan sifatnya bukan hanya yang dapat terlihat oleh mata seperti, upah buruh perempuan yang rendah, atau pendidikan dan kesehatan yang terlalaikan oleh negara, namun lebih dari itu aksi-aksi penindasan terhadap perempuan justru lebih menyentuh ke kesadaran mereka. Jika dulu ketika R.A Kartini memperjuangkan pendidikan yang setara antara  wanita dan pria di zaman penjajahan dengan membela kepentingan wanita yang tertindas maka kini wanita kembli ditindas oleh kebengisan zaman dimana wanita ditindas oleh pemilik modal yang bertujuan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya menjadi. Pemilik  modal berlomba-lomba mengeksploitasi perempuan. 
            . Belum lagi Iklan-iklan di media cetak dan elektronik pun sebagian besar menjadikan perempuan sebagai modelnya. Salah satu contoh Saat ini pramuniaga-pramuniaga yang bekerja di mal-mal khususnya di kota pekanbaru menjadi objek eksploitasi terbesar termasuk juga iklan-iklan yang memajang perempuan sebagai modelnya.             Disadari betul oleh pemilik modal ketika era pasar bebas masuk kaum penumpuk modal itu bukan hanya mengembangkan pembuatan produk, tetapi juga mengontrol kesadaran massa tentang tubuh melalui pencitraan tubuh ideal lewat berbagai media, dan antara lain via propaganda iklan. Dan itu dicitrakan melalui perempuan. Perempuan yang berkerja di hotel dan mal-mal di kota pekanbaru saat ini 70% nya menjadi objek eksploitasi. Ditambah lagi RUU tenagakerjaan yang mengatur khusus untuk perempuan belum terlalu jelas dan belum memberi perlindungan aman bagi pekerja terutama pekerja wanita  . Tuntunan ekonomi yang menjadi penyebab  perempuan-perempuan muda lulusan SMA/SMK ini harus  untuk menjadi tulang punggung keluarga.  Banyaknya Mal, Hotel dan Bank (khusunya Bank Konvensioanal) yang saat ini berkembang pesat di Pekanbaru menjdikan lapangan kerja untuk perempuan terbuka  lebar. Pramunia-pramuniaga atau yang biasa disebut sales promo girl tersebut memaksanya memakai pakaian yang membuka aurat,  rok diatas lutut, belum lagi kewajiban memakai high heels yang jelas-jelas tidak membuat nyaman dan bisa merusak kesehatan jika digunakan terus menerus, jam kerja yang sama antara wanita dan pria. Ditambah lagi upah minimun saja belum mampu memenuhi kebutuhan si perempuan tersebut ditambah lagi dengan jam kerja yang kadang tidak sesuai. Para perempuan yang bekerja di bandara juga tak lepas dari eksploitasi kapitalis, bandara sebagai gerbang masuk nya wisatawan atau tamu dari luar kota dimana image kota yang seharusnya menjadi pencitraan sebagai kota melayu ketike menginjakkan kaki disana kekhasaan dari Pekanbaru tercermin justru tidak terlihat  ketika perempuan –perempuan penjual makanan atau souvenir khas yang ada disana terlihat sama saja dengan  pekerja-pekerja perempuan di kota-kota lain di Indonesia. Ciri sebagai kota melayu pun tak terlihat . apatah lagi jika kita melihat di Mal-mal atau hotel pekerja wanitanya wajib memakai rok mini diatas lutut sedangkan pekerja pria memakai pakaian tertutup rapi. Ironis namun  bisa jadi bukan karena keinginan mereka tapi tuntutan pekerjaan. Ulfah Nurhidayah dalam blog nya yang berjudul Wajah perempuan di Dunia iklan mengatakan bahwa  Manusia saat ini tengah memperalat dan mengeksploitasi satu sama lain. Dalam hal ini hidup sedang disangkal, karena kerja yang seharusnya menjadi ekspresi dan kreatifitas kemakhlukan, menjadi kerja yang terpaksa, untuk mendapatkan upah, untuk sekedar dapat bertahan hidup.” Bisa jadi saat ini pekerja wanita di Riau ini tidak lagi dipekerjakan secara manusiawi tapi lebih kepada keterpakasaan untuk sebuah tuntutan ekonomi keluarga. Pemilik modal tidak lagi peduli dengan etika dan nilai.
            Sekarang ini citra perempuan yang lebih banyak dipengaruhi oleh pencitraan iklan menjadikan perempuan sebagai penarik konsumen ketimbang menaikkan kualitas produk sekarang ini citra perempuan yang dianggap baik adalah yang terlihat cantik, seksi, disukai banyak lelaki, memiliki sifat konsumtif, dan lain-lain. Nilai-nilai yang sejatinya harus ditanamkan tidak terlihat sedikitpun. Hal tersebut akan berimplikasi pula pada kultur perempuan Indonesia itu sendiri. Bertolak dari stereotip yang dipaksakan oleh media, secara perlahan dan tidak disadari kultur perempuan Indonesia akan bergeser ke arah stereotip itu. Nilai-nilai ketimuran yang menjunjung tinggi nurani yang dimiliki perempuan indonesia, perlahan-lahan tergantikan oleh budaya materialistik. Stereotip ini akan menyeret orang memandang dari segi kecantikan lahiriah saja. Tentunya hal ini sangat memiriskan hati.  Pekerja perempuan tidak lagi terlindungi  hak-hak dan kewajibannya. Belum lagi kepedulian perusahaan terhadap hak kesehatan pekerja wanitanya. Hak cuti haid dan melahirkan telah diatur dalam UU ketenakarjaan namun sering diabaikan oleh perusahaan.
  Padahal seperti ditegaskan diatas jumlah pekerja perempuan baik di sektor formal maupun informal sangat besar, yaitu sebanyak 39,95 juta jiwa, dengan 25 juta di antaranya berada dalam usia reproduksi 15-45 tahun. Kelompok usia reproduksi itu dinilai membutuhkan perhatian khusus sesuai kodratnya dan sudah dijamin dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dan ini kiranya menjadi PR besar bagi pemerintah daerah dan pusat. UU ketenagakerjaan masih sangat lemah untuk melindungi hak buruh dan pekerja terutama disini perempuan. Pemerintah harus tanggap dalam memprioritaskan kebijakan-kebijakan yang membela kaum perempuan. Dan  tidak muluk-muluk juga jika kita berharap agar tidak lagi ada pengeksploitasian perempuan baik dalam tampilan iklan cetak/elektronik atau  pekerja perempuan yang dipaksakan memmenuhi keinginan perusahaan atau apapun bentuk penindasan yang berada dalam lingkaran liberal – kapitalistik dengan cara mengkontrol ketamakan pasar dan mengembalikan keadilan ekonomi di tangan rakyat. 
            Dan yang terpenting dari itu semua itu hharus dikembalikan kepada perempuan itu tersebut. Negara bertanggung jawab mengembalikan kepentingan dan hak-hak terhadap perempuan jika Iran mampu membuat kebijakan dengan membuat beberapa kebijakan yang memihak wanita diantaranya jam kerja perempuan lebih singkat ketimbang laki-laki dan menekankan  perempuan prioritas utamanya adalah keluarga. Maka Tidak heran jika Ahmadinejad sangat didukung oleh kaum wanita disana karena kebijakan yang berpihak pada perempuan. Perempuan dibalik kelemahan dan kekuatannya memliki peran masing-masing . Jika negara masih menjadikan perempuan sebagai objek  maka perempuan selamnya akan dieksploitasi. Isu gender yang diusung oleh aktivis gender malah terlihat tidak membela kepentingan perempuan tersebut ataupun bahkan di beberapa daerah yang pemimpin daerah nya seorang wanita saja hak-hak terhadap perempuan masih sering terabaikan bahkan kekerasan terhadap perempuan terus saja meningkat bahkan sampai sekarang perempuan masih dipekerjakan ditempat-tempat umum yang rentan pelecehan.  
            Sesungguhnya Tidak ada yang meragukan kekuatan seseorang wanita namun alangkah lebih indah dan terhormat  jika perempuan indonesia kembali menjadi perempuan yang memiliki nilai berdasarkan norma dan aturan agama  Dari zaman penjajahan wanita telah turut berjuang membela negara ketika suaminya gugur sang wanita menggantikan peran suamniya bukankah dalam Al-Quran Islam telah menggambarkan bahwa wanita adalah tiang agama jika perempuannya baik maka baiklah negara itu jika perempuan rusak maka rusak lah negara tersebut. Maka jangan rusak perempuan indonesia untuk mendapat keuntungan semata dan kembalikan wanita dalam kondratnya sebagai tiang negara
 TOLAK EKSPLOITASI WANITA OLEH PERUSAHAAN


Tidak ada komentar:

Posting Komentar