Total Tayangan Halaman

Jumat, 20 Januari 2012

“ana sudah tidak sanggup lagi akh, mendingan ana mengundurkan diri….”

Diambil dari Tulisan Bang Edi Purnama (Jakarta)
Oktober 11, 2010
Meniti jalan profesional (Itqonul amal..)

“ana sudah tidak sanggup lagi akh, mendingan ana mengundurkan diri….”

Demikianlah bisikan seorang ikhwan di tengah syuro yang berlangsung cukup ‘memanas’. Suara ikhwan di balik hijab pun kian tinggi saja, bersahut-sahutan dengan sanggahan seorang akhwat di sisi lain.

Menjelang hari H, masih banyak pekerjaan panitia yang belum tuntas. Bagi segelintir panitia, P4L (pergi pagi pulang pagi lagi) tampaknya jadi kemestian. Dan hari itu tibalah, jumlah peserta melebihi target dan seluruh pendukung acara hadir, Alhamdulillah. Acara selesai dan dianggap lumayan sukses walau menyisakan hutang hingga bilangan jutaan.

“Dari mana kita melunasi hutang itu akh..?”

“Kita minta sama Allah”

Ba’da itu, sebagaimana tiap usai sebuah kegiatan, diadakanlah muhasabah. “Mari bersama-sama kita lapangkan dada serta membuang semua prasangka yang bisa merusak keikhlasan hati. Hendaknya selesai dari sini, kita semakin dikuatkan, semakin kokoh sebagai rijalud dakwah. Bukan sebaliknya…”, demikianlah taujihat ikhwan yang bertindak sebagai Steering Committee (SC). Sore itu masing-masing panitia bersalaman, berpelukan, dan ada juga yang terharu sambil bergumam, “Gak nyangka ya, ternyata Forkalam bisa melakukan acara ini, padahal keuangan kita hanya sedikit…hmm”.

Ini bukan penggalan fiksi, dan kisah di atas sebenarnya masih panjang lagi. “Kasus-kasus” klasik tentang kerja yang terdistribusikan hanya pada sedikit orang, Oknum panitia yang tidak amanah, ‘gesekan-gesekan’ antar personal, dan masih banyak lagi yang ikut menghiasi kinerja kepanitiaan itu.

Belum lagi berbicara tentang ‘penzholiman’ terhadap keluarga, orang tua dan saudara di rumah yang juga harus sering menahan kedongkolan karena jomplangnya perhatian sang aktivis antara dakwah di kampus dengan perhatian terhadap keluarga. Belum lagi ancaman mengulang kuliah gara-gara sering ditinggal manakala ada agenda, dan pada yang sama terngiang jargon : “Jasad kuat, dakwah hebat, IP 4”

Kalau sudah begini, alih-alih mensugesti diri dengan kalimat tauhid “ innallaha ma’ashshobirin”, bisa-bisa yang terucap malah :”pusiiiiing!…..”

Mari kita berbenah….



Al-Insaan

Prinsip Al-Insaan yang kita pahami adalah bahwa setiap manusia punya tiga potensi : hati (ruh), otak (aql), dan jasad. Kelengkapan tiga potensi ini merupakan syarat mutlak bagi seseorang agar berdaya secara utuh.

Walaupun konsep ini sudah jadi santapan sejak awal tarbiyah (pembinaan), namun realisasinya memang tak seindah dan semudah yang dibayangkan. Tuntutan untuk bisa menjadi da’i yang itqon (professional) dan cerdas berbarengan dengan tuntutan untuk menjaga hubungan antar manusia.

Pada saat seorang da’i terjun dalam aktivitas dakwah ammah, itqonul amal tampaknya memang jadi keniscayaan. Berbekal hamasah untuk meninggikan izzah diennya, profesionalisme menjadi kata yang ditulis besar-besar dalam buku agenda.

Walau demikian, jangan lupa da’i (yang notabene adalah manusia juga) bekerja dengan manusia juga. Dan tidak semua tipikal manusia bisa bekerja secara otomatis, layaknya mesin. Ada manusia yang begitu perasa dan ada pula yang sangat teoritis. Ada yang unggul dalam penguasaan fikroh, ada yang unggul dalam rutinitas ibadah mahdhah. Begitu seterusnya. Begitu beragamnya manusia, hatta manusia yang sama-sama tertarbiyah.

Anyway, once again, basically all human beings need to be filled in those three potentions. Semuanya butuh asupan untuk memenuhi keseimbangan fungsi-fungsinya. Maka, manakala seorang da’i menjadi “mati rasa”, menjadi sedemikian mekanis layaknya mesin, ia perlu ingat bahwa mesin pun butuh pelumas.

Kesuksesan sebuah amal dakwah, taruhlah sebagaimana kegiatan pada kisah di atas, tidak dapat di ukur hanya dari variabel-variabel yang kasat mata. Membludaknya peserta atau peliputan berbagai media massa, tidak cukup menjadi indikator sukses sebuah amal dakwah apabila menyisakan hubungan yang retak. Ukhuwahlah yang seharusnya mampu menjadi pelumas mesin itu. Dan ukhuwah, sangat terkait dengan ikatan hati (ta’liful qulub), terkait dengan kemampuan untuk berhubungan secara interpersonal. Sedangkan kekuatan hati itu tergantung pada quwwatus sillah billah (kekuatan hubungan seorang hamba dengan Rabbnya).

Demikian pula, da’i tidak bisa berkutat pada hubungan interpersonal semata dengan mengabaikan kerja-kerja teknis yang dibutuhkan bagi sebuah seminar, aksi, atau agenda lainnya agar menjadi sebuah kegiatan yang layak. Kegiatan itu toh juga butuh pasukan yang jiddiyah mencari dana, menyebarkan publikasi, menata setting acara, dan kerja-kerja operasional lainnya.

Semestinya tidak ada potensi manusiawi yang terdzolimi demi memenuhi yang lain. Mendzolimi hati bisa berakibat turut terdzoliminya fikri dan jasmani. Demikian pula sebaliknya.

Berharap bisa professional, namun mengesampingkan kedekatan hati, baik antar personal maupun dengan Khaliknya, maka rasa-rasanya itu pun termasuk kezholiman.



Ketawazunan Jama’i

Oleh karena itu dalam setiap aktivitas yang melibatkan insan, sekompleks apapun kondisinya, seberagam apapun kasusnya, insya Allah akan menjadi aktivitas yang sukses tidak saja secara lahiriah namun juga kesuksesan secara yang hakiki, asal masing-masing dari ketiga potensi itu dipenuhi kebutuhannya secara adil. Dan bukankah itu adalah itqonul amal yang sesungguhnya?.

Dengan begitu, konsep ketawazunan dalam Al-Insaan hendaknya dipahami sebagai konsep yang tidak berlaku fardhi atau bagi orang per orang saja, namun lebih kompleks lagi juga berlaku di dalam sebuah sistem amal jama’i.

Yakinlah bahwa teori yang indah di atas kertas itu juga bisa terwujud di lapangan bila setiap da’i tak hanya taat mengikuti ta’limatnya, melainkan juga taat mejalankannya.

Bila penzholiman demi penzholiman ini masih terjadi juga, maka mungkin di sela-sela kepenatan beraktivitas dakwah, kita perlu berkontemplasi sejenak. Perlu membuka-buka lagi lembaran madah liqo’at kita, dan tentunya juga membuka mata dan hati kita.

Sebagaimana jingle iklan sebuah kopi instant: “Buka mata, buka hati, buka pikiran…”

Sesungguhnya bersama kesulitan selalu ada kemudahan. Wallahu’alam.

(Materinya diambil dari majalah Al-Izzah)

———

Edi Purnama

Februari 2010

terima kasih pada semua pihak yg telah menginspirasi…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar