Euforia
kemeriahan PON ke 18 telah berakhir tepat pada tanggal 20 September pekan olahraga
terbesar di Indonesia ini ditutup oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, gegap
gempita pelaksanaannya sungguh luar biasa, semua berpesta, semua bergembira.
Ini lah Indonesia, inilah rakyatnya, terlalu lama di percundangi oleh kompeni
membuat watak orang Indonesia mengkal.
PON ke
18 di Provinsi Riau sepatutnya menjadi ajang yang luar biasa, kemegahan seharusnya berbanding lurus dengan
capaian yang dijadikan target, namun tampaknya hal ini hanya akan menjadi
cerita kosong saja, selepas PON ini kita akan sama-sama melihat apakah
targetan-targertan itu memang tercapai atau justru jauh panggang dari api.
Pemerintah
Provinsi Riau melalui data LSM diperkirakan telah mengeluarkan 4,8 T untuk
pembiayaan PON, bukan jumlah uang yang sedikit, oleh karenanya dipastikan
pemerintah Provinsi Riau dalam kurun beberapa tahun kedepan akan hanya melunasi
pembiayaan ini saja, karena seperti yang kita tahu bahwa pendanaan berasal dari
anggaran pendapatan belanja daerah Riau, sementara pemerintah pusat hanya
menggelontorkan sedikit bantuan saja, pihak sponsor yang tadinya diharap mau
bekerja sama malah hilang entah kemana, hingga mau tak mau daripada kehilangan
marwah PON tetap dilaksanakan di provinsi ini dengan terpaksa menggunakan uang “pribadi”.
Kilas balik
bagaimana Riau bisa menjadi tuan rumah memang tidak dapat di lepaskan dari
peran besar Rusli Zainal Gubernur Riau yang menjabat 2 periode ini di tahun
2007, saat itu Riau bersaing dengan beberapa provinsi seperti Jawa Barat, dan pada making decision nya Riau keluar sebagai “pemenang”. Dengan alasan agar
ada pemerataan kemajuan olah raga di seluruh Indonesia . jadinya Riau menjadi
Tuan Rumah. Kemelut kisruh PON ini telah terjadi di awal pelaksanaan hingga
kini tepat dimana PON telah ditutup dengan pesta mewahnya. Dimulai dengan
pembagian proyek pembangunan venues yang dijatah “masing-masing” kepada kolega
dan handai taulan sang Pejabat. Kasus suap menyuap, kasus korupsi anggaran,
venues yang terbengkalai, pembayaran honor, dan masih banyak masalah yang
lainnya.
Saat pelaksanaan
PON masyarakat pun dibuai dengan cerita dan tayangan betapa luar biasa nya PON
ini, Riau dikenal di seluruh Indonesia, Riau semarak dengan kemeriahan pesta,
tak ada ruang yang terbuka untuk sedikit melihat bahwa betapa ini menyakitkan. Betapa
tidak, untuk kemeriahan beberapa saat kita harus mengorbankan triliyunan rupiah
jatah jaminan pembangunan masyarakat Riau. Untuk euphoria sejenak kita
mengabaikan nasib kesejehteraan puluhan ribu guru, perawat, buruh, petani,
nelayan negeri ini. Di tengah hiruk pikuk pesta kita menutup mata atas jaminan
kesehatan ribuan anak balita, ratusan
pasien miskin yang harus terbaring di lorong-lorong kamar sempit rumah sakit pemerintah dengan pelayanan
seadanya, dan demi gegap gempita nya pesta ratusan anak negeri ini terancam
akan semakin dimatikan karakternya karena jatah pendidikan tak lagi cukup untuk
mendidik mereka. Dan demi pesta bersama artis-artis ibu kota kita merelakan
mereka yang berada di perbatasan, di pulau-pulau kecil semakin tersudutkan tak
diperdulikan.
Kita bisa
saja mengatakan bahwa kita orang Riau harus mensukseskan pelaksanaan PON ini,
bukan orang Riau namanya jika tidak menghargai kerja keras orang
menyelenggarakan PON, prestasi luar biasa jika Riau bisa membuat open dan closing ceremony yang
megah, mengundang penyanyi dengan bayaran tinggi datang ke Riau menghibur kita
semalam ya..hanya semalam, karena malam-malam berikutnya kita akan kembali
bertemankan pelito* duduk di tangga depan rumah melihat jalanan telah kosong,
pesta telah usai, kita ditinggal sendiri.
Pelaksanaan
PON dengan 4 catur sukses yang diharapkan akan bisa dilihat berhasil atau tidak
tentunya selepas ini, tapi jika dikatakan sebagai promosi daerah maka cukup
selama pelaksanaan PON ini Riau di cap gagal menyelenggarakannya, tak ada good news yang ada bad news, pemerintah daerah telah mengeluarkan triliyunan rupiah
untuk promosi tapi pemerintah pusat apalah daya membantu, media jauh lebih
berkuasa. Kedatangan SBY pun tercoreng dengan pemberlakuan tiket masuk seharga
3 juta hingga 100 ribu untuk tribun penonton, alhasil kursi banyak yang
kosong, tak pelak sampai disitu, di
tempat pertandingan dikenakan pula retribusi
parkir yang tak wajar, jika tak tahu malu tiket penonton pun akan di charge. Sungguh kenyataan yang diluar
akal logika, korupsi dengan gaya baru dan ini benar-benar tidak lagi di bawah
meja tapi sudah dengan meja-meja nya.
Kita sering
lupa bahwa banyak kerja yang lebih penting, ibarat berladang kita belum menanam
tapi sudah mau makan enak, bekerja lah dulu, tanamlah padi, beri air dan pupuk,
kerja keras menjaga padi dari hama, mengairinya agar tak kering, bersabar menunggu
hingga padi menguning siap di panen, ketika semua dipastikan padi rakyatnya
telah tumbuh dengan subur tak ada lagi yang bersedih hati karena tanaman
padinya tak merunduk, jikalau semua
sudah settle boleh lah
melepas lelah dengan berkumpul bersama menikmati hasil panen, semua tua muda,
yang punya sawah dan tak punya sawah duduk bersama di atas rumput bernyanyi
bersama ratusan anak burung yang terbang rendah, sang pemimpin membuka hajat
dengan tak lupa menyimpan hasil nya sebagian untuk bekal hadapan, agar tak
tamak kekenyangan yang bisa menyebabkan kehinaan atas keserakahan.
Maka logo
“selamat datang sang juara” dengan burung serindit nya tercoreng malu sudah,
mental juara hanya untuk tamu yang datang tapi tidak untuk tuan rumah,sifat egois
yang mengakar telah melukai tanah melayu, tak ada lagi adat bersendikan syara,
syara bersendikan kitabullah. Semoga selepas ini KPK di Riau akan melakukan kerja bersih-bersih,
menangkapi penyamun yang menunpang di kapal, biarlah ini menjadi pelajaran berharga
untuk dikenang oleh anak cucu tentang kisah keserakahan pemimpinnya . Apabila pemimpin tahukan diri, memimpin umat
sepenuh hati, amanah dipikul janji diisi rakyat sejahtera tuah berdiri*. Itulah
kalau nakhoda tidaklah paham alamat
kapal akan tenggelam
*diambil dari tunjuk ajar "memilih pemimpin" Tenas Effendy